Monday 24 September 2007

Penataan Ruang Untuk Mitigasi Bencana Alam

1. PENDAHULUAN
Bencana alam adalah suatu akibat dari kejadian alami (seperti letusan gunung api, gempa bumi, atau tanah longsor) yang menjadi suatu peristiwa fisik dan berhubungan dengan aktivitas manusia. Sifat kerentanan manusia, yang dapat disebabkan oleh tiadanya penataan ruang yang baik atau tiadanya manajemen risiko yang handal, dapat mengakibatkan kerugian pada materi, struktur, dan nyawa manusia. Kerugian yang diakibatkan suatu kejadian alam tergantung pada kapasitas manusia dalam menahan bencana alam. Jadi bencana alam terjadi ketika kejadian alam berhadapan dengan kerentanan manusia. Suatu kejadian alam karenanya tidak pernah mengakibatkan suatu bencana di suatu wilayah yang tidak ada unsur kerentanan manusia didalamnya, misalnya gempa bumi kuat yang terjadi di wilayah tak berpenghuni. Tingkat kerugian juga tergantung pada sifat alami dari kejadian alam itu sendiri, mulai dari sekilat petir yang menghanguskan pucuk pohon kelapa sampai gelombang tsunami yang meluluhlantakkan sebagian kota Banda Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 yang lalu.

Dalam suatu ruang, beberapa kejadian alam seperti banjir dan longsor dapat dicegah atau diminimasi, sedangkan beberapa kejadian alam lain seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi tidak dapat dihindari, sehingga yang dapat dilakukan adalah meminimasi kemungkinan risikonya. Risiko terjadinya kejadian alam semakin besar apabila kejadian alam tersebut menimpa suatu wilayah dengan kerentanan yang tinggi. Suatu tata ruang wilayah yang direncanakan agar tahan terhadap kejadian alam akan meminimalkan bencana ketika kejadian alam itu terjadi.
Indonesia adalah geografi yang rentan terhadap berbagai kejadian alam. Berdasarkan catatan Walhi, sejak 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah kejadian alam skala besar di Indonesia mencapai 647 peristiwa, meliputi banjir, longsor, gempa bumi, angin topan, tsunami, dll. dengan ribuan korban jiwa dan jumlah kerugian material ratusan miliar rupiah. Sejak itu sampai sekarang banyak lagi kejadian alam yang membuat ratusan ribu orang kehilangan nyawa, termasuk tsunami di Aceh dan Nias, kemudian di pantai selatan Jawa, longsor di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, gempa bumi di Sumatera Barat, dll. Catatan Walhi juga menyebutkan bahwa sejak 1998 hingga pertengahan 2003 sebesar 85% dari total kejadian alam adalah banjir dan longsor. Dengan demikian sebagian besar kejadian alam di Indonesia merupakan kejadian alam yang bisa diatasi, yang dapat diantisipasi kejadian dan risikonya. Sebagian kecil memang belum bisa diduga kapan akan terjadinya, walaupun dalam hitungan geologi, kejadian itu dipastikan akan terjadi, seperti tsunami yang diakibatkan oleh pergeseran lempeng-lempeng batuan bumi di bagian barat dan selatan Indonesia.
Makalah ini membahas aspek penataan ruang dalam pengendalian dampak kejadian alam, yang meliputi gempa bumi, tsunami, banjir, longsor. Jenis kejadian alam lain yang berpotensi terjadi tidak dibahas karena sangat spesifik sepeti letusan gunung berapi atau jarang terjadi seperti badai atau kejatuhan meteor.

2. SEBARAN WILAYAH RENTAN KEJADIAN ALAM
Bagian ini membahas sebaran wilayah rentan kejadian alam, yaitu wilayah di mana kejadian alam seperti gempa bumi, longsor, atau tsunami telah dan diduga akan sering terjadi. Identifikasi wilayah dengan kemungkinan kejadian alam tinggi berguna untuk menentukan pola struktur dan pemanfaatan ruang suatu daerah.
Tingkat kerentanan suatu wilayah sebagai akibat dari suatu kejadian alam diperkirakan dari gabungan tingkat kerawanan dari suatu kejadian alam dengan parameter tentang dampak kejadian alam itu terhadap lingkungan alami dan buatan yaitu khususnya kepadatan penduduk, penggunaan lahan, dan keberadaan obyek vital. Semakin besar kepadatan penduduk maka kerentanan suatu wilayah terhadap kejadian alam akan semakin besar. Jenis penggunaan lahan yang mempunyai tingkat risiko tinggi adalah kawasan permukiman atau kawasan terbangun. Semakin banyak obyek-obyek vital seperti pasar, terminal, bandar udara, pelabuhan laut, pembangkit listrik, bendungan, instalasi air bersih, dll. maka kerugian yang ditimbulkan akibat kejadian alam akan semakin besar. Kerusakan obyek-obyek vital ini akan berdampak pada menurunnya tingkat pelayanan kebutuhan masyarakat.

2.1. Wilayah Rentan Gempa Bumi
Gempa bumi adalah gaya inersia yang timbul oleh goncangan gempa yang dapat berakibat merobohkan bangunan yang tidak didesain tahan gempa. Penyebab ikutan gempa bumi dapat berupa gelombang laut tsunami yang menerjang pantai, perubahan struktur perlapisan tanah, dan longsoran di wilayah perbukitan. Wilayah rentan gempa bumi ditentukan dari tingkat kerawanan dan parameter dampak akibat terjadinya gempa bumi. Analisis kerawanan gempa bumi menggunakan tiga indikator, yaitu: (1) seismisitas, meliputi kedalaman dan magnitude episentrum, (2) struktur geologi, meliputi sesar aktif dan tingkat kerapuhan batuan dimana episentrum tersebut berada, dan (3) percepatan tanah puncak.

2.2. Wilayah Rentan Tsunami
Tsunami adalah gelombang yang ditimbulkan oleh pergerakan lempeng bumi yang terjadi secara tiba-tiba. Gerakan ini menimbulkan gelombang panjang yang umumnya mempunyai periode 20 sampai 200 menit dan dapat menyebabkan kehancuran di daerah pesisir karena tiriggi gelombangnya dapat mencapai beberapa meter di atas batas normal muka air tertinggi (Carter, 1999 dalam Iwan Tejakusuma, 2005).
Kekuatan tsunami yang terjadi di Indonesia, berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan ketinggian gelombang maksimum di pantai berkisar 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang ke daratan berkisar antara 50 - 200 meter dari garis pantai. Gempa bumi yang berpotensi menimbulkan tsunami pada umumnya adalah gempa bumi yang episentrumnya terletak di laut dengan kedalaman kurang dari 60 Km dengan magnitude 6,0 skala Richter serta jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau turun (BMG dalam Bambang Marwanta, 2005).
Kerawanan tsunami dipengaruhi oleh (1) kekuatan tsunami dan (2) morfologi pantai. Kekuatan tsunami sebaliknya dipengaruhi oleh rnangnitude gempa bumi. Berdasarkan besarnya kekuatan tsunami dapat diprediksi besarnya rambatan naik (run-up) gelombang tsunami di suatu wilayah pantai. Perkiraan rambatan naik tersebut dapat dihitung dengan menggunakan tabel hubungan umum (masa lalu) antara magnitude tsunami, energi tsunami dan tinggi maksimum rambatan naik (run-up). Faktor kedua, morfologi pantai, berpengaruh mengurangi potensi kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang rambatan naik (run-up). Faktor-faktor morfologi pantai yang berpengaruh terhadap potensi kerusakan adalah tipologi pantai, kemiringan dan ketinggian.

2.3. Wilayah Rentan Longsor
Longsoran (landslide) adalah pergerakan suatu masa batuan, tanah atau rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng (Cruden, 1991 dalarn Karnawati, 2004). Karnawati (2003) membagi penyebab terjadinya longsor ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) faktor-faktor pengontrol, dan (2) faktor-faktor pemicu. Faktor-faktor pengontrol antara lain adalah geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi dan tata guna lahan. Sementara faktor-faktor pemicu meliputi infiltrasi air ke dalam lereng, getaran, dan aktivitas manusia yang mengakibatkan perubahan penggunaan lahan.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2000) telah menyusun Pedoman Pemetaan Kerentanan Gerakan Tanah (Longsor). Pedoman tersebut disusun untuk memberi acuan dalam melakukan pemetaan wilayah kerentanan longsor agar dapat diperoleh keseragaman arti dan kualitas peta wilayah kerentanan longsor. Berdasarkan pedoman tersebut terdapat 8 kriteria yang digunakan untuk memetakan kerentanan gerakan tanah: morfologi, kondisi keairan, tanah/batuan, geologi, tata lahan, struktur geologi, aktifitas manusia dan keterdapatan gerakan tanah. Alternatif lain dalam penentuan kerawanan longsor adalah menggunakan empat parameter yang datanya relatif mudah diperoleh, yaitu litologi, kemiringan lereng, dan curah hujan.

2.4. Wilayah Rentan Banjir
Banjir adalah aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia. Wilayah rawan banjir adalah wilayah yang potensial dilanda banjir yang diindikasikan dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap banjir, yaitu: topografi, tingkat permeabilitas tanah, kondisi wilayah aliran sungui, wilayah meander, curah hujan, dan air laut (airlaut pada saat pasang dapat mengakibatkan pembendungan di muara sungai sehingga menyebabkan aliran sungai meluap).

3. PENATAAN RUANG DAN REKAYASA TEKNOLOGI UNTUK MITIGASI BENCANA ALAM
Mitigasi meliputi segala tindakan untuk mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Mitigasi merupakan dasar manajemen situasi yang dapat didefinisikan sebagai “aksi yang mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang bahaya kejadian alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta benda” (FEMA, 2000).
Manajemen risiko kejadian alam dapat dilakukan dengan penataan ruang, melakukan rekayasa teknologi, penguatan masyarakat dan penataan kelembagaan. Makalah ini hanya membahas manajemen risiko kejadian alam ditinjau dari aspek penataan ruang dan rekayasa teknologi.

3.1. Mitigasi Bencana Alam Melalui Penataan Ruang
Manajemen risiko gempa bumi melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1) Mengidentifikasi lokasi-lokasi yang aman dari gempa, antara lain dengan menganalisa tipe-tipe tanah dan struktur geologinya; (2) Mengalokasikan penempatan bangunan (perumahan dan fasilitas umum yang vital seperti rumah sakit, sekolah, kantor polisi, pemadam kebakaran, dan sebagainya) pada wilayah yang aman dari gempa bumi.
Manajemen risiko tsunami melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Pencegahan pembangunan fasilitas umum (rumah sakit, sekolah, kantor frolisi, pemadam kebakaran) pada zona rawan bencana tsunami; (2). Mengidentifikasi daerah-daerah aman dan rute evakuasi dengan mengoverlaykan peta-peta bahaya tsunami dan jaringan jalan; (3). Penyediaan fasilitas penye1amaan, secara vertikal maupun horizontal, sesuai kondisi geografis. Untuk itu dapat digunakan bangunan atau bukit penyelamatan disertai rute-rute penyelamatan; (4). Menyediakan zona penyangga (buffer zone) untuk mengurangi energi tsunami sehingga daya rusaknya menurun; (5). Wilayah yang kemungkinan/potensi tergenang air diperuntukan bagi taman atau area olah raga.
Manajemen risiko longsor melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Mengidentifikasi daerah rawan longsor (area yang rawan getaran bumi m gempa bumi, area pegunungan terutama yang memiliki kemiringan lereng yang curam, area dengan degradasi lahan yang parah, area yang tertutup butir-butir pasir yang lembut, area dengan curah hujan tinggi); (2). Mengarahkan pembangunan pada tanah yang stabil; (3) Pengaturan vegetasi untuk wilayah rentan longsor; (4) Memanfaatkan wilayah rentan longsor tinggi sebagai ruang terbuka hijau.
Manajemen risiko banjir melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Melakukan pemetaan wilayah rawan banjir, mengarahkan pembangunan menghindari daerah rawan banjir (kecuali untuk taman dan fasilitas olah raga), dan dilanjutkan dengan kontrol penggunaan lahan; (2). Melakukan diversifikasi produk pertanian seperti penanaman tanaman pangan yang tahan terhadap banjir atau menyesuaikan musim tanam; (3). Penghutanan kembali, pengaturan tanah endapan karena banjir; (4). Pengadaan jalur evakuasi apabila terjadi banjir.

3.2. Mitigasi Bencana Alam Melalui Rekayasa Teknologi
Manajemen risiko gempa bumi melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1) mengembangkan teknik-teknik konstruksi tahan gempa, baik bangunan untuk fasilitas umum maupun rumah penduduk, antara lain menggunakan bangunan dan kayu dan bahan ringan untuk rumah karena lebih aman dibandingkan bangunan berat; (2) memverifikasi kapabilitas bendungan dan pekerjaan rekayasa untuk menahan kekuatan gempa; (3). meninjau kembali kesempurnaan fasilitas-fasilitas bangunan yang penting (rumah sakit, sekolah, pemadam kebakaran, instalasi komunikasi) dan ujenyempurnakan fasilitas tersebut jika diperlukan; (4). merencanakan alternatif cadangan air; (5). menyiapkan sistem-sistem komunikasi emergensi dan pesan-pesan kepada khalayak umum yang menyangkut keamanan.
Manajemen risiko tsunami melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1). melengkapi dengan sistem peringatan dini (early warning system/EWS); (2). memperkuat bangunan agar tahan terhadap tekanan gebombang dan arus kuat, a.l. dengan merekonstruksi fondasi struktur agar dapat menahan erosi dan penggerusan oleh arus, membuat lantai dasar menjadi terbuka sehingga mampu membiarkan air laut melintas, menempatkan generator cadangan di lantai yang tidak kena banjir, menyimpan benda-benda berat berbahaya di dalam tanah; (3). memodifikasi sistem transportasi untuk dapat memfasilitasi evakuasi massal secara cepat; (4). menggunakan struktur penahan gelombang laut, antara lain seperti sea wall, sea dikes, breakwaters, river gates untuk menahan atau mengurangi tekanan tsunami.
Manajemen risiko longsor melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1). melakukan perbaikan drainase tanah, seperti perbaikan sistem drainase, hydroseeding, dan soil nailing; (2). membangun berbagai pekerjaan struktural, seperti rock netting, shotcrete, block pitching, stone pitching, retaining wall, gabion wall, installation of geotextile, dsb. sesuai keadaan wilayah rawan longsor.
Sedangkan melalui rekayasa teknologi, manajemen risiko banjir dapat dilakukan dengan: (1). melengkapi dengan sistem peringatan dan deteksi/peramalan banjir; (2). menggunakan media untuk menyebarkan peringatan, melalui radio, televisi, dan sirine;
(3). memperbanyak vegetasi pelindung dan mengurangi padang penggembalaan yang terlalu luas; (4). melakukan relokasi elemen-elemen yang menyumbat jalan banjir, termasuk pembersihan sedimen dan puing-puing dan sungai; (5). membelokkan aliran banjir, dengan tanggul dan bendungan; (6). menggunakan rancangan bangunan tahan banjir, misalnya menaikkan lantai/ruangan di atas kemungkinan batas banjir, memundurkan bangunan dari arus banjir, menstabilkan dasar sungai dengan bangunan konstruksi dari batu atau vegetasi, terutama yang berada dekat jembatan; (7). mengenakan peraturan tentang material bangunan, yang menghindari bangunan bangunan dari kayu dan yang berkerangka ringan pada wilayah rentan banjir; (8). meninggikan sebagian wilayah atau bangunan yang digunakan untuk penyelamatan sementara jika evakuasi tidak dimungkinkan.

4. PENUTUP
Indonesia adalah negara yang rawan terhadap berbagai kejadian alam. Kejadian alam tidak selalu menimbulkan bencana. Kejadian alam dapat dicegah dengan melakukan penataan ruang yang baik, disertai upaya rekayasa teknologi, penguatan masyarakat dalam menghadapi kejadian alam tersebut dan penataan kelembagaan untuk mencegah korban jatuh lebih banyak dan untuk memulihkan kondisi seperti sebelumnya. Penataan ruang untuk mitigasi bencana dilakukan dengan menyesuaikan struktur dan pola pemanfaatan ruang dengan tingkat kerentanan wilayah terhadap berbagai bentuk kejadian alam yang berpotensi untuk terjadi.

--o0o--

Penataan Ruang Untuk Mitigasi Bencana Alam

1. PENDAHULUAN
Bencana alam adalah suatu akibat dari kejadian alami (seperti letusan gunung api, gempa bumi, atau tanah longsor) yang menjadi suatu peristiwa fisik dan berhubungan dengan aktivitas manusia. Sifat kerentanan manusia, yang dapat disebabkan oleh tiadanya penataan ruang yang baik atau tiadanya manajemen risiko yang handal, dapat mengakibatkan kerugian pada materi, struktur, dan nyawa manusia. Kerugian yang diakibatkan suatu kejadian alam tergantung pada kapasitas manusia dalam menahan bencana alam. Jadi bencana alam terjadi ketika kejadian alam berhadapan dengan kerentanan manusia. Suatu kejadian alam karenanya tidak pernah mengakibatkan suatu bencana di suatu wilayah yang tidak ada unsur kerentanan manusia didalamnya, misalnya gempa bumi kuat yang terjadi di wilayah tak berpenghuni. Tingkat kerugian juga tergantung pada sifat alami dari kejadian alam itu sendiri, mulai dari sekilat petir yang menghanguskan pucuk pohon kelapa sampai gelombang tsunami yang meluluhlantakkan sebagian kota Banda Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 yang lalu.

Dalam suatu ruang, beberapa kejadian alam seperti banjir dan longsor dapat dicegah atau diminimasi, sedangkan beberapa kejadian alam lain seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi tidak dapat dihindari, sehingga yang dapat dilakukan adalah meminimasi kemungkinan risikonya. Risiko terjadinya kejadian alam semakin besar apabila kejadian alam tersebut menimpa suatu wilayah dengan kerentanan yang tinggi. Suatu tata ruang wilayah yang direncanakan agar tahan terhadap kejadian alam akan meminimalkan bencana ketika kejadian alam itu terjadi.
Indonesia adalah geografi yang rentan terhadap berbagai kejadian alam. Berdasarkan catatan Walhi, sejak 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah kejadian alam skala besar di Indonesia mencapai 647 peristiwa, meliputi banjir, longsor, gempa bumi, angin topan, tsunami, dll. dengan ribuan korban jiwa dan jumlah kerugian material ratusan miliar rupiah. Sejak itu sampai sekarang banyak lagi kejadian alam yang membuat ratusan ribu orang kehilangan nyawa, termasuk tsunami di Aceh dan Nias, kemudian di pantai selatan Jawa, longsor di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, gempa bumi di Sumatera Barat, dll. Catatan Walhi juga menyebutkan bahwa sejak 1998 hingga pertengahan 2003 sebesar 85% dari total kejadian alam adalah banjir dan longsor. Dengan demikian sebagian besar kejadian alam di Indonesia merupakan kejadian alam yang bisa diatasi, yang dapat diantisipasi kejadian dan risikonya. Sebagian kecil memang belum bisa diduga kapan akan terjadinya, walaupun dalam hitungan geologi, kejadian itu dipastikan akan terjadi, seperti tsunami yang diakibatkan oleh pergeseran lempeng-lempeng batuan bumi di bagian barat dan selatan Indonesia.
Makalah ini membahas aspek penataan ruang dalam pengendalian dampak kejadian alam, yang meliputi gempa bumi, tsunami, banjir, longsor. Jenis kejadian alam lain yang berpotensi terjadi tidak dibahas karena sangat spesifik sepeti letusan gunung berapi atau jarang terjadi seperti badai atau kejatuhan meteor.

2. SEBARAN WILAYAH RENTAN KEJADIAN ALAM
Bagian ini membahas sebaran wilayah rentan kejadian alam, yaitu wilayah di mana kejadian alam seperti gempa bumi, longsor, atau tsunami telah dan diduga akan sering terjadi. Identifikasi wilayah dengan kemungkinan kejadian alam tinggi berguna untuk menentukan pola struktur dan pemanfaatan ruang suatu daerah.
Tingkat kerentanan suatu wilayah sebagai akibat dari suatu kejadian alam diperkirakan dari gabungan tingkat kerawanan dari suatu kejadian alam dengan parameter tentang dampak kejadian alam itu terhadap lingkungan alami dan buatan yaitu khususnya kepadatan penduduk, penggunaan lahan, dan keberadaan obyek vital. Semakin besar kepadatan penduduk maka kerentanan suatu wilayah terhadap kejadian alam akan semakin besar. Jenis penggunaan lahan yang mempunyai tingkat risiko tinggi adalah kawasan permukiman atau kawasan terbangun. Semakin banyak obyek-obyek vital seperti pasar, terminal, bandar udara, pelabuhan laut, pembangkit listrik, bendungan, instalasi air bersih, dll. maka kerugian yang ditimbulkan akibat kejadian alam akan semakin besar. Kerusakan obyek-obyek vital ini akan berdampak pada menurunnya tingkat pelayanan kebutuhan masyarakat.

2.1. Wilayah Rentan Gempa Bumi
Gempa bumi adalah gaya inersia yang timbul oleh goncangan gempa yang dapat berakibat merobohkan bangunan yang tidak didesain tahan gempa. Penyebab ikutan gempa bumi dapat berupa gelombang laut tsunami yang menerjang pantai, perubahan struktur perlapisan tanah, dan longsoran di wilayah perbukitan. Wilayah rentan gempa bumi ditentukan dari tingkat kerawanan dan parameter dampak akibat terjadinya gempa bumi. Analisis kerawanan gempa bumi menggunakan tiga indikator, yaitu: (1) seismisitas, meliputi kedalaman dan magnitude episentrum, (2) struktur geologi, meliputi sesar aktif dan tingkat kerapuhan batuan dimana episentrum tersebut berada, dan (3) percepatan tanah puncak.

2.2. Wilayah Rentan Tsunami
Tsunami adalah gelombang yang ditimbulkan oleh pergerakan lempeng bumi yang terjadi secara tiba-tiba. Gerakan ini menimbulkan gelombang panjang yang umumnya mempunyai periode 20 sampai 200 menit dan dapat menyebabkan kehancuran di daerah pesisir karena tiriggi gelombangnya dapat mencapai beberapa meter di atas batas normal muka air tertinggi (Carter, 1999 dalam Iwan Tejakusuma, 2005).
Kekuatan tsunami yang terjadi di Indonesia, berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan ketinggian gelombang maksimum di pantai berkisar 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang ke daratan berkisar antara 50 - 200 meter dari garis pantai. Gempa bumi yang berpotensi menimbulkan tsunami pada umumnya adalah gempa bumi yang episentrumnya terletak di laut dengan kedalaman kurang dari 60 Km dengan magnitude 6,0 skala Richter serta jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau turun (BMG dalam Bambang Marwanta, 2005).
Kerawanan tsunami dipengaruhi oleh (1) kekuatan tsunami dan (2) morfologi pantai. Kekuatan tsunami sebaliknya dipengaruhi oleh rnangnitude gempa bumi. Berdasarkan besarnya kekuatan tsunami dapat diprediksi besarnya rambatan naik (run-up) gelombang tsunami di suatu wilayah pantai. Perkiraan rambatan naik tersebut dapat dihitung dengan menggunakan tabel hubungan umum (masa lalu) antara magnitude tsunami, energi tsunami dan tinggi maksimum rambatan naik (run-up). Faktor kedua, morfologi pantai, berpengaruh mengurangi potensi kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang rambatan naik (run-up). Faktor-faktor morfologi pantai yang berpengaruh terhadap potensi kerusakan adalah tipologi pantai, kemiringan dan ketinggian.

2.3. Wilayah Rentan Longsor
Longsoran (landslide) adalah pergerakan suatu masa batuan, tanah atau rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng (Cruden, 1991 dalarn Karnawati, 2004). Karnawati (2003) membagi penyebab terjadinya longsor ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) faktor-faktor pengontrol, dan (2) faktor-faktor pemicu. Faktor-faktor pengontrol antara lain adalah geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi dan tata guna lahan. Sementara faktor-faktor pemicu meliputi infiltrasi air ke dalam lereng, getaran, dan aktivitas manusia yang mengakibatkan perubahan penggunaan lahan.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2000) telah menyusun Pedoman Pemetaan Kerentanan Gerakan Tanah (Longsor). Pedoman tersebut disusun untuk memberi acuan dalam melakukan pemetaan wilayah kerentanan longsor agar dapat diperoleh keseragaman arti dan kualitas peta wilayah kerentanan longsor. Berdasarkan pedoman tersebut terdapat 8 kriteria yang digunakan untuk memetakan kerentanan gerakan tanah: morfologi, kondisi keairan, tanah/batuan, geologi, tata lahan, struktur geologi, aktifitas manusia dan keterdapatan gerakan tanah. Alternatif lain dalam penentuan kerawanan longsor adalah menggunakan empat parameter yang datanya relatif mudah diperoleh, yaitu litologi, kemiringan lereng, dan curah hujan.

2.4. Wilayah Rentan Banjir
Banjir adalah aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia. Wilayah rawan banjir adalah wilayah yang potensial dilanda banjir yang diindikasikan dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap banjir, yaitu: topografi, tingkat permeabilitas tanah, kondisi wilayah aliran sungui, wilayah meander, curah hujan, dan air laut (airlaut pada saat pasang dapat mengakibatkan pembendungan di muara sungai sehingga menyebabkan aliran sungai meluap).

3. PENATAAN RUANG DAN REKAYASA TEKNOLOGI UNTUK MITIGASI BENCANA ALAM
Mitigasi meliputi segala tindakan untuk mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Mitigasi merupakan dasar manajemen situasi yang dapat didefinisikan sebagai “aksi yang mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang bahaya kejadian alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta benda” (FEMA, 2000).
Manajemen risiko kejadian alam dapat dilakukan dengan penataan ruang, melakukan rekayasa teknologi, penguatan masyarakat dan penataan kelembagaan. Makalah ini hanya membahas manajemen risiko kejadian alam ditinjau dari aspek penataan ruang dan rekayasa teknologi.

3.1. Mitigasi Bencana Alam Melalui Penataan Ruang
Manajemen risiko gempa bumi melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1) Mengidentifikasi lokasi-lokasi yang aman dari gempa, antara lain dengan menganalisa tipe-tipe tanah dan struktur geologinya; (2) Mengalokasikan penempatan bangunan (perumahan dan fasilitas umum yang vital seperti rumah sakit, sekolah, kantor polisi, pemadam kebakaran, dan sebagainya) pada wilayah yang aman dari gempa bumi.
Manajemen risiko tsunami melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Pencegahan pembangunan fasilitas umum (rumah sakit, sekolah, kantor frolisi, pemadam kebakaran) pada zona rawan bencana tsunami; (2). Mengidentifikasi daerah-daerah aman dan rute evakuasi dengan mengoverlaykan peta-peta bahaya tsunami dan jaringan jalan; (3). Penyediaan fasilitas penye1amaan, secara vertikal maupun horizontal, sesuai kondisi geografis. Untuk itu dapat digunakan bangunan atau bukit penyelamatan disertai rute-rute penyelamatan; (4). Menyediakan zona penyangga (buffer zone) untuk mengurangi energi tsunami sehingga daya rusaknya menurun; (5). Wilayah yang kemungkinan/potensi tergenang air diperuntukan bagi taman atau area olah raga.
Manajemen risiko longsor melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Mengidentifikasi daerah rawan longsor (area yang rawan getaran bumi m gempa bumi, area pegunungan terutama yang memiliki kemiringan lereng yang curam, area dengan degradasi lahan yang parah, area yang tertutup butir-butir pasir yang lembut, area dengan curah hujan tinggi); (2). Mengarahkan pembangunan pada tanah yang stabil; (3) Pengaturan vegetasi untuk wilayah rentan longsor; (4) Memanfaatkan wilayah rentan longsor tinggi sebagai ruang terbuka hijau.
Manajemen risiko banjir melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Melakukan pemetaan wilayah rawan banjir, mengarahkan pembangunan menghindari daerah rawan banjir (kecuali untuk taman dan fasilitas olah raga), dan dilanjutkan dengan kontrol penggunaan lahan; (2). Melakukan diversifikasi produk pertanian seperti penanaman tanaman pangan yang tahan terhadap banjir atau menyesuaikan musim tanam; (3). Penghutanan kembali, pengaturan tanah endapan karena banjir; (4). Pengadaan jalur evakuasi apabila terjadi banjir.

3.2. Mitigasi Bencana Alam Melalui Rekayasa Teknologi
Manajemen risiko gempa bumi melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1) mengembangkan teknik-teknik konstruksi tahan gempa, baik bangunan untuk fasilitas umum maupun rumah penduduk, antara lain menggunakan bangunan dan kayu dan bahan ringan untuk rumah karena lebih aman dibandingkan bangunan berat; (2) memverifikasi kapabilitas bendungan dan pekerjaan rekayasa untuk menahan kekuatan gempa; (3). meninjau kembali kesempurnaan fasilitas-fasilitas bangunan yang penting (rumah sakit, sekolah, pemadam kebakaran, instalasi komunikasi) dan ujenyempurnakan fasilitas tersebut jika diperlukan; (4). merencanakan alternatif cadangan air; (5). menyiapkan sistem-sistem komunikasi emergensi dan pesan-pesan kepada khalayak umum yang menyangkut keamanan.
Manajemen risiko tsunami melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1). melengkapi dengan sistem peringatan dini (early warning system/EWS); (2). memperkuat bangunan agar tahan terhadap tekanan gebombang dan arus kuat, a.l. dengan merekonstruksi fondasi struktur agar dapat menahan erosi dan penggerusan oleh arus, membuat lantai dasar menjadi terbuka sehingga mampu membiarkan air laut melintas, menempatkan generator cadangan di lantai yang tidak kena banjir, menyimpan benda-benda berat berbahaya di dalam tanah; (3). memodifikasi sistem transportasi untuk dapat memfasilitasi evakuasi massal secara cepat; (4). menggunakan struktur penahan gelombang laut, antara lain seperti sea wall, sea dikes, breakwaters, river gates untuk menahan atau mengurangi tekanan tsunami.
Manajemen risiko longsor melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1). melakukan perbaikan drainase tanah, seperti perbaikan sistem drainase, hydroseeding, dan soil nailing; (2). membangun berbagai pekerjaan struktural, seperti rock netting, shotcrete, block pitching, stone pitching, retaining wall, gabion wall, installation of geotextile, dsb. sesuai keadaan wilayah rawan longsor.
Sedangkan melalui rekayasa teknologi, manajemen risiko banjir dapat dilakukan dengan: (1). melengkapi dengan sistem peringatan dan deteksi/peramalan banjir; (2). menggunakan media untuk menyebarkan peringatan, melalui radio, televisi, dan sirine;
(3). memperbanyak vegetasi pelindung dan mengurangi padang penggembalaan yang terlalu luas; (4). melakukan relokasi elemen-elemen yang menyumbat jalan banjir, termasuk pembersihan sedimen dan puing-puing dan sungai; (5). membelokkan aliran banjir, dengan tanggul dan bendungan; (6). menggunakan rancangan bangunan tahan banjir, misalnya menaikkan lantai/ruangan di atas kemungkinan batas banjir, memundurkan bangunan dari arus banjir, menstabilkan dasar sungai dengan bangunan konstruksi dari batu atau vegetasi, terutama yang berada dekat jembatan; (7). mengenakan peraturan tentang material bangunan, yang menghindari bangunan bangunan dari kayu dan yang berkerangka ringan pada wilayah rentan banjir; (8). meninggikan sebagian wilayah atau bangunan yang digunakan untuk penyelamatan sementara jika evakuasi tidak dimungkinkan.

4. PENUTUP
Indonesia adalah negara yang rawan terhadap berbagai kejadian alam. Kejadian alam tidak selalu menimbulkan bencana. Kejadian alam dapat dicegah dengan melakukan penataan ruang yang baik, disertai upaya rekayasa teknologi, penguatan masyarakat dalam menghadapi kejadian alam tersebut dan penataan kelembagaan untuk mencegah korban jatuh lebih banyak dan untuk memulihkan kondisi seperti sebelumnya. Penataan ruang untuk mitigasi bencana dilakukan dengan menyesuaikan struktur dan pola pemanfaatan ruang dengan tingkat kerentanan wilayah terhadap berbagai bentuk kejadian alam yang berpotensi untuk terjadi.

--o0o--

Tuesday 18 September 2007

Beberapa Isu Penting Pengembangan Kawasan Bebas Sabang

Bicara tentang aceh, ingatan banyak orang saat ini cenderung tertuju pada operasi darurat militer, dengan korban-korban yang berjatuhan dan kesedihan yang menyayat dari keluarga yang menjadi korban perang. Namun sebetulnya ditengah-tengah suasana pertempuran gerilya yang terutama terjadi di pedesaan tersebut, sedang terjadi geliat pertumbuhan ekonomi yang jika keadaan aman dapat terus terwujud, akan membuat aceh kembali menjadi wilayah yang maju secara ekonomi, sejajar dengan daerah-daerah lain.
Salah satu inisiatif besar yang dilakukan oleh Pemda Aceh adalah mengubah kawasan Sabang sebagai kawasan yang sejak lama stagnan, menjadi kawasan yang maju seperti Batam. Ini bukan saja harapan pemda Aceh, namun juga merupakan salah satu kebijaksanaan pemerintah Pusat untuk masyarakat Aceh, yang sebagian daripadanya telah menderita akibat penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di masa lalu.

Kawasan Bebas Sabang
UU 37/2000 menetapkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan wilayah Sabang dan sekitarnya sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas adalah identik dengan free trade zone (FTZ), yaitu suatu kawasan di mana berbagai kemudahan diberikan untuk menarik investor dari luar negeri sehingga dari kegiatan perdagangan maupun industri yang berlangsung, tercipta lapangan kerja, alih teknologi, pendapatan negara dan daerah, devisa, dll. Suatu FTZ untuk dapat berhasil dalam konteks persaingan yang sangat sengit saat ini memerlukan persyaratan yang sangat berat.
Persyaratan FTZ adalah: kelengkapan prasarana kelas dunia, insentif yang menarik, manajemen yang profesional, lingkungan permukiman yang menyenangkan, peraturan dan prosedur yang jelas dan mudah, landasan hukum yang pasti, dan jaminan keamanan. Untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (selanjutnya disingkat Kawasan Sabang), semua persyaratan itu perlu disiapkan dalam waktu singkat, agar keinginan menjadikan Kawasan Sabang sebagai sebuah pusat pertumbuhan tidak hanya di wilayah Aceh namun juga secara nasional, melalui dukungannya terhadap pertumbuhan perekonomian nasional dapat direalisasikan segera, sebagaimana yang sangat diharapkan oleh masyarakat Sabang yang pada beberapa puluh tahun yang lalu telah menikmati status kawasan perdagangan bebas namun kemudian dicabut pada tahun 1985.

Strategi
Strategi yang diambil oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), yang dibentuk oleh Dewan Kawasan yang diketuai oleh Gubernur NAD, adalah membangun 5 kawasan usaha, yaitu (a) pelabuhan kontainer, (b) kawasan industri terpadu, (c) kawasan industri perikanan terpadu internasional, (d) kawasan perkantoran, dan (e). Kawasan pariwisata. Selain itu, BPKS juga berupaya membangun bunker penimbunan minyak mentah (oil storage) yang dibawa oleh kapal-kapal dari Timur Tengah ke Asia Tenggara yang berbobot di atas 400.000 DWT yang tidak dapat melewati Selat Malaka.
Pelabuhan kontainer akan terdiri dari lapangan penumpukan (container yard) seluas 26.000 m2, fasilitas pergudangan (container freight station) seluas 2.000 m2, dilengkapi dengan kantor bertingkat untuk administrasi, perusahaan pelayaran dan kantor komersial lain; dan fasilitas karantina. Kawasan industri akan menampung lahan industri skala besar dan kecil, yang akan disewakan kepada investor, dilengkapi dengan industrial resort, pusat bisnis, ruang pameran, dan fasilitas R & D. Kawasan ini diharapkan dapat mengundang masuk industri manufaktur yang mempunyai kandungan impor tinggi.
Di Kawasan Industri Perikanan Terpadu Internasional akan dibangun berbagai sarana yang memungkinkan pemprosesan ikan lebih lanjut sebelum diekspor ke tempat lain. Kawasan Perkantoran terdiri dari ruang-ruang kantor untuk disewakan (Sabang Business Center). Selain bangunan kantor, juga sedang dibangun bangunan-bangunan tempat pemerintah kabupaten/kota di Propinsi NAD menggelar dan mempromosikan produk industri, perdagangan dan pariwisata daerahnya, dikenal dengan kawasan Sabang Fair. Kawasan Pariwisata Pantai direncanakan akan dikembangkan di Iboih, yang memiliki pantai dan pesisir yang sangat potensial untuk pengembangan wisata marina. Walaupun pada saat ini telah terbangun beberapa cottage yang relatif masih sederhana, direncanakan akan dikembangkan suatu resor wisata terpadu yang berkelas internasional dalam rangka menjaring wisatawan dari mancanegara.

Beberapa Isu Penting
Ada enam isu yang perlu diatasi dalam pengembangan Kawasan Sabang.
Pertama, menyangkut peraturan perundangan. UU 37/2000 belum dilengkapi dengan peraturan teknis yang mengatur secara lebih rinci ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut. Hal-hal yang perlu dirumuskan dalam peraturan teknis antara lain adalah masalah pelimpahan perijinan, pembiayaan pembangunan, pembagian pendapatan, pertanahan, dll. Salah satu pelayanan yang diinginkan oleh calon investor dari pengelola kawasan adalah kemudahan dalam memperoleh berbagai ijin yang disyaratkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang umumnya dalam bentuk pelayanan satu atap (one stop service). Untuk itu perlu ada pelimpahan wewenang perizinan dari instansi pusat terkait kepada BPKS, atau sebagai alternatif, semua instansi terkait menempatkan stafnya di kantor BPKS sehingga calon investor cukup mendatangi satu tempat untuk mengurus semua persyaratan yang diperlukan. Lama pengurusan dan biaya serta prosedur permintaan ijin-ijin harus ditetapkan dalam peraturan tersebut. Pengembangan dan pengoperasian Kawasan Sabang juga akan menyangkut kepentingan dan urusan tingkat daerah, seperti masalah tata ruang, penyediaan dan pengoperasian prasarana dan sarana, dll. Untuk itu perlu dibuat beberapa peraturan daerah, baik tingkat propinsi (karena melibatkan dua daerah otonom) maupun tingkat kota.
Kedua, isu pembangunan infrastruktur. Infrastruktur terdiri dari infrastruktur keras dan infrastruktur lunak. Infrastruktur keras antara lain jalan, pelabuhan laut dan udara, lahan siap pakai, bangunan kantor dan pabrik, telekomunikasi, listrik, air, pembuangan limbah, dll. Infrastruktur lunak adalah sistem dan prosedur yang memberi kemudahan bagi investor menjalankan usahanya, seperti sistem kepabeanan, sistem keimigrasian, sistem kepelabuhan, sistem penerbangan, sistem perbankan, dll. Infrastruktur keras harus tersedia secara lengkap dan modern, sedang infrastruktur lunak harus mudah, cepat dan efisien. Pembangunan infrastruktur dapat dibiayai oleh swasta, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Instansi Pusat dan pemerintah daerah diharapkan membangun jalan, lapangan udara, air bersih, listrik, pengaman pantai, permukiman, lingkungan, sarana kesehatan dan pendidikan, yang semuanya perlu direncanakan secara terpadu dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kota Sabang. Untuk pengadaan infrastruktur lunak, dukungan instansi Pusat yang diperlukan berupa sistem, peraturan, tenaga ahli, sarana, promosi, pelatihan, penelitian, inkubasi bisnis, portal internet, dll.
Ketiga, menyangkut insentif. Insentif yang menarik diperlukan untuk mendatangkan investor. Adanya investasi asing diharapkan akan membuka lapangan kerja, meningkatkan penguasaan teknologi dan manajemen usaha, mendorong tumbuhnya industri pendukung, dan mendatangkan devisa dari kegiatan ekspor yang dilakukan.
Insentif dalam bentuk penghapusan bea masuk dan pembebasan pajak telah diberikan oleh UU 37/2000. Namun selain itu, masih diperlukan insentif lain seperti discount harga BBM bagi kapal internasional yang mengisi air dan kebutuhan lainnya di Kawasan Sabang, keringanan pajak bagi industri tertentu, misalnya yang melakukan riset, pelatihan, dll. Insentif ini harus lebih menarik daripada yang ditawarkan oleh pesaing-pesaing Sabang, seperti Penang, Tanjung Pelepas, bahkan Batam.
Keempat, isu manajemen. Untuk dapat bersaing dengan FTZ lain maka pengelolaan Kawasan Sabang perlu dilakukan secara profesional dengan praktek manajemen standar internasional. Untuk itu perlu dilakukan pelatihan dalam berbagai bidang bagi staf BPKS, melakukan outsourcing dari luar daerah/negeri untuk mendapatkan tenaga-tenaga ahli yang tidak ada di Kawasan Sabang atau wilayah Aceh, atau melakukan kerjasama operasional dengan FTZ lain yang lebih maju, dll. Dalam hubungan ini, BPKS dapat membangun suatu pola kerjasama yang sifatnya mutualistik dengan Badan Otorita Batam, misalnya, yang lebih dulu berkembang, terutama. Selain itu, BPKS juga perlu secara seksama memanfaatkan kerjasama ekonomi sub-regional yang telah dikembangkan selama ini, khususnya dalam konteks IMS-GT dan IMT-GT, dengan membuka kerjasama dan hubungan bisnis yang intensif dengan FTZ-FTZ yang ada di negara tetangga.
Kelima, isu tenaga kerja. Investor yang beroperasi di Kawasan Sabang akan memerlukan tenaga terampil dalam jumlah banyak. Pada saat ini tenaga terampil tersebut masih belum mencukupi. Untuk itu agar kekurangan tenaga terampil itu tidak diisi oleh pendatang dari luar Aceh atau luar negeri, maka sejak dini generasi muda di Kawasan Sabang perlu disiapkan untuk menjadi tenaga-tenaga terampil yang siap dipekerjakan. Pengusaha lokal juga perlu disiapkan untuk dapat menjadi penyalur bahan pangan dan industri bagi perusahaan industri pengolahan dari luar yang akan menjalankan usahanya di Kawasan Sabang.
Keenam, isu kelembagaan. Tanpa ada pengaturan yang harmonis antara BPKS dengan Pemkot Sabang, Pemkab. Aceh Besar, Pemprop. NAD maupun dengan Pemerintah Pusat, masing-masing dengan instansi-instansi terkaitnya, maka pembangunan Kawasan Sabang akan mengalami berbagai kendala. Kendala-kendala itu antara lain meliputi: masalah pertanahan, perijinan, pengelolaan, pembiayaan, tata ruang dan lingkungan, dll. Untuk itu perlu dipertimbangkan organisasi BPKS yang otonom dengan mengurangi sebanyak mungkin kewenangan tingkat pemerintahan lain yang dapat menghambat kelancaran pengoperasian kawasan bebas, namun BPKS tetap harus accountable terhadap pemerintah Daerah maupun Pusat. Pola hubungan kerjasama antara Pemkot Sabang dengan BPKS juga perlu dikaji secara mendalam, dengan belajar banyak dari pengalaman yang dihadapi oleh Otorita Batam dengan Pemkot Batam, sehingga dapat terjadi suatu pola kemitraan yang sinergis antara Pemkot Sabang dengan BPKS. Kejelasan terhadap kewenangan, khususnya antara kewenangan Pusat yang diemban oleh BPKS dan kewenangan Pemkot Sabang, perlu ditetapkan untuk menghindari adanya tumpang tindih dan konflik yang mungkin terjadi dalam pengelolaan dan pengusahaan kawasan Sabang di masa mendatang.
Solusi terhadap ke enam isu tersebut perlu dicari sejak dini agar tidak muncul berbagai kendala dalam pembangunan dan pengusahaan Kawasan Sabang.

--o0o—

Beberapa Isu Penting Pengembangan Kawasan Bebas Sabang

Bicara tentang aceh, ingatan banyak orang saat ini cenderung tertuju pada operasi darurat militer, dengan korban-korban yang berjatuhan dan kesedihan yang menyayat dari keluarga yang menjadi korban perang. Namun sebetulnya ditengah-tengah suasana pertempuran gerilya yang terutama terjadi di pedesaan tersebut, sedang terjadi geliat pertumbuhan ekonomi yang jika keadaan aman dapat terus terwujud, akan membuat aceh kembali menjadi wilayah yang maju secara ekonomi, sejajar dengan daerah-daerah lain.
Salah satu inisiatif besar yang dilakukan oleh Pemda Aceh adalah mengubah kawasan Sabang sebagai kawasan yang sejak lama stagnan, menjadi kawasan yang maju seperti Batam. Ini bukan saja harapan pemda Aceh, namun juga merupakan salah satu kebijaksanaan pemerintah Pusat untuk masyarakat Aceh, yang sebagian daripadanya telah menderita akibat penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di masa lalu.

Kawasan Bebas Sabang
UU 37/2000 menetapkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan wilayah Sabang dan sekitarnya sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas adalah identik dengan free trade zone (FTZ), yaitu suatu kawasan di mana berbagai kemudahan diberikan untuk menarik investor dari luar negeri sehingga dari kegiatan perdagangan maupun industri yang berlangsung, tercipta lapangan kerja, alih teknologi, pendapatan negara dan daerah, devisa, dll. Suatu FTZ untuk dapat berhasil dalam konteks persaingan yang sangat sengit saat ini memerlukan persyaratan yang sangat berat.
Persyaratan FTZ adalah: kelengkapan prasarana kelas dunia, insentif yang menarik, manajemen yang profesional, lingkungan permukiman yang menyenangkan, peraturan dan prosedur yang jelas dan mudah, landasan hukum yang pasti, dan jaminan keamanan. Untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (selanjutnya disingkat Kawasan Sabang), semua persyaratan itu perlu disiapkan dalam waktu singkat, agar keinginan menjadikan Kawasan Sabang sebagai sebuah pusat pertumbuhan tidak hanya di wilayah Aceh namun juga secara nasional, melalui dukungannya terhadap pertumbuhan perekonomian nasional dapat direalisasikan segera, sebagaimana yang sangat diharapkan oleh masyarakat Sabang yang pada beberapa puluh tahun yang lalu telah menikmati status kawasan perdagangan bebas namun kemudian dicabut pada tahun 1985.

Strategi
Strategi yang diambil oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), yang dibentuk oleh Dewan Kawasan yang diketuai oleh Gubernur NAD, adalah membangun 5 kawasan usaha, yaitu (a) pelabuhan kontainer, (b) kawasan industri terpadu, (c) kawasan industri perikanan terpadu internasional, (d) kawasan perkantoran, dan (e). Kawasan pariwisata. Selain itu, BPKS juga berupaya membangun bunker penimbunan minyak mentah (oil storage) yang dibawa oleh kapal-kapal dari Timur Tengah ke Asia Tenggara yang berbobot di atas 400.000 DWT yang tidak dapat melewati Selat Malaka.
Pelabuhan kontainer akan terdiri dari lapangan penumpukan (container yard) seluas 26.000 m2, fasilitas pergudangan (container freight station) seluas 2.000 m2, dilengkapi dengan kantor bertingkat untuk administrasi, perusahaan pelayaran dan kantor komersial lain; dan fasilitas karantina. Kawasan industri akan menampung lahan industri skala besar dan kecil, yang akan disewakan kepada investor, dilengkapi dengan industrial resort, pusat bisnis, ruang pameran, dan fasilitas R & D. Kawasan ini diharapkan dapat mengundang masuk industri manufaktur yang mempunyai kandungan impor tinggi.
Di Kawasan Industri Perikanan Terpadu Internasional akan dibangun berbagai sarana yang memungkinkan pemprosesan ikan lebih lanjut sebelum diekspor ke tempat lain. Kawasan Perkantoran terdiri dari ruang-ruang kantor untuk disewakan (Sabang Business Center). Selain bangunan kantor, juga sedang dibangun bangunan-bangunan tempat pemerintah kabupaten/kota di Propinsi NAD menggelar dan mempromosikan produk industri, perdagangan dan pariwisata daerahnya, dikenal dengan kawasan Sabang Fair. Kawasan Pariwisata Pantai direncanakan akan dikembangkan di Iboih, yang memiliki pantai dan pesisir yang sangat potensial untuk pengembangan wisata marina. Walaupun pada saat ini telah terbangun beberapa cottage yang relatif masih sederhana, direncanakan akan dikembangkan suatu resor wisata terpadu yang berkelas internasional dalam rangka menjaring wisatawan dari mancanegara.

Beberapa Isu Penting
Ada enam isu yang perlu diatasi dalam pengembangan Kawasan Sabang.
Pertama, menyangkut peraturan perundangan. UU 37/2000 belum dilengkapi dengan peraturan teknis yang mengatur secara lebih rinci ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut. Hal-hal yang perlu dirumuskan dalam peraturan teknis antara lain adalah masalah pelimpahan perijinan, pembiayaan pembangunan, pembagian pendapatan, pertanahan, dll. Salah satu pelayanan yang diinginkan oleh calon investor dari pengelola kawasan adalah kemudahan dalam memperoleh berbagai ijin yang disyaratkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang umumnya dalam bentuk pelayanan satu atap (one stop service). Untuk itu perlu ada pelimpahan wewenang perizinan dari instansi pusat terkait kepada BPKS, atau sebagai alternatif, semua instansi terkait menempatkan stafnya di kantor BPKS sehingga calon investor cukup mendatangi satu tempat untuk mengurus semua persyaratan yang diperlukan. Lama pengurusan dan biaya serta prosedur permintaan ijin-ijin harus ditetapkan dalam peraturan tersebut. Pengembangan dan pengoperasian Kawasan Sabang juga akan menyangkut kepentingan dan urusan tingkat daerah, seperti masalah tata ruang, penyediaan dan pengoperasian prasarana dan sarana, dll. Untuk itu perlu dibuat beberapa peraturan daerah, baik tingkat propinsi (karena melibatkan dua daerah otonom) maupun tingkat kota.
Kedua, isu pembangunan infrastruktur. Infrastruktur terdiri dari infrastruktur keras dan infrastruktur lunak. Infrastruktur keras antara lain jalan, pelabuhan laut dan udara, lahan siap pakai, bangunan kantor dan pabrik, telekomunikasi, listrik, air, pembuangan limbah, dll. Infrastruktur lunak adalah sistem dan prosedur yang memberi kemudahan bagi investor menjalankan usahanya, seperti sistem kepabeanan, sistem keimigrasian, sistem kepelabuhan, sistem penerbangan, sistem perbankan, dll. Infrastruktur keras harus tersedia secara lengkap dan modern, sedang infrastruktur lunak harus mudah, cepat dan efisien. Pembangunan infrastruktur dapat dibiayai oleh swasta, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Instansi Pusat dan pemerintah daerah diharapkan membangun jalan, lapangan udara, air bersih, listrik, pengaman pantai, permukiman, lingkungan, sarana kesehatan dan pendidikan, yang semuanya perlu direncanakan secara terpadu dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kota Sabang. Untuk pengadaan infrastruktur lunak, dukungan instansi Pusat yang diperlukan berupa sistem, peraturan, tenaga ahli, sarana, promosi, pelatihan, penelitian, inkubasi bisnis, portal internet, dll.
Ketiga, menyangkut insentif. Insentif yang menarik diperlukan untuk mendatangkan investor. Adanya investasi asing diharapkan akan membuka lapangan kerja, meningkatkan penguasaan teknologi dan manajemen usaha, mendorong tumbuhnya industri pendukung, dan mendatangkan devisa dari kegiatan ekspor yang dilakukan.
Insentif dalam bentuk penghapusan bea masuk dan pembebasan pajak telah diberikan oleh UU 37/2000. Namun selain itu, masih diperlukan insentif lain seperti discount harga BBM bagi kapal internasional yang mengisi air dan kebutuhan lainnya di Kawasan Sabang, keringanan pajak bagi industri tertentu, misalnya yang melakukan riset, pelatihan, dll. Insentif ini harus lebih menarik daripada yang ditawarkan oleh pesaing-pesaing Sabang, seperti Penang, Tanjung Pelepas, bahkan Batam.
Keempat, isu manajemen. Untuk dapat bersaing dengan FTZ lain maka pengelolaan Kawasan Sabang perlu dilakukan secara profesional dengan praktek manajemen standar internasional. Untuk itu perlu dilakukan pelatihan dalam berbagai bidang bagi staf BPKS, melakukan outsourcing dari luar daerah/negeri untuk mendapatkan tenaga-tenaga ahli yang tidak ada di Kawasan Sabang atau wilayah Aceh, atau melakukan kerjasama operasional dengan FTZ lain yang lebih maju, dll. Dalam hubungan ini, BPKS dapat membangun suatu pola kerjasama yang sifatnya mutualistik dengan Badan Otorita Batam, misalnya, yang lebih dulu berkembang, terutama. Selain itu, BPKS juga perlu secara seksama memanfaatkan kerjasama ekonomi sub-regional yang telah dikembangkan selama ini, khususnya dalam konteks IMS-GT dan IMT-GT, dengan membuka kerjasama dan hubungan bisnis yang intensif dengan FTZ-FTZ yang ada di negara tetangga.
Kelima, isu tenaga kerja. Investor yang beroperasi di Kawasan Sabang akan memerlukan tenaga terampil dalam jumlah banyak. Pada saat ini tenaga terampil tersebut masih belum mencukupi. Untuk itu agar kekurangan tenaga terampil itu tidak diisi oleh pendatang dari luar Aceh atau luar negeri, maka sejak dini generasi muda di Kawasan Sabang perlu disiapkan untuk menjadi tenaga-tenaga terampil yang siap dipekerjakan. Pengusaha lokal juga perlu disiapkan untuk dapat menjadi penyalur bahan pangan dan industri bagi perusahaan industri pengolahan dari luar yang akan menjalankan usahanya di Kawasan Sabang.
Keenam, isu kelembagaan. Tanpa ada pengaturan yang harmonis antara BPKS dengan Pemkot Sabang, Pemkab. Aceh Besar, Pemprop. NAD maupun dengan Pemerintah Pusat, masing-masing dengan instansi-instansi terkaitnya, maka pembangunan Kawasan Sabang akan mengalami berbagai kendala. Kendala-kendala itu antara lain meliputi: masalah pertanahan, perijinan, pengelolaan, pembiayaan, tata ruang dan lingkungan, dll. Untuk itu perlu dipertimbangkan organisasi BPKS yang otonom dengan mengurangi sebanyak mungkin kewenangan tingkat pemerintahan lain yang dapat menghambat kelancaran pengoperasian kawasan bebas, namun BPKS tetap harus accountable terhadap pemerintah Daerah maupun Pusat. Pola hubungan kerjasama antara Pemkot Sabang dengan BPKS juga perlu dikaji secara mendalam, dengan belajar banyak dari pengalaman yang dihadapi oleh Otorita Batam dengan Pemkot Batam, sehingga dapat terjadi suatu pola kemitraan yang sinergis antara Pemkot Sabang dengan BPKS. Kejelasan terhadap kewenangan, khususnya antara kewenangan Pusat yang diemban oleh BPKS dan kewenangan Pemkot Sabang, perlu ditetapkan untuk menghindari adanya tumpang tindih dan konflik yang mungkin terjadi dalam pengelolaan dan pengusahaan kawasan Sabang di masa mendatang.
Solusi terhadap ke enam isu tersebut perlu dicari sejak dini agar tidak muncul berbagai kendala dalam pembangunan dan pengusahaan Kawasan Sabang.

--o0o—

Tantangan Pemerintah Kota Dalam Pembangunan Perkotaan

Indonesia (250 juta orang) dan Thailand (65 juta orang) adalah dua negara yang segolongan dalam perekonomian: sama-sama negara berkembang, mantan macan Asia pada tahun 1990an, pernah mengalami krisis mata uang, sama-sama berada di jalur demokrasi walau dengan gaya berbeda, dan kini sama-sama ingin menjadi negara maju berikutnya setelah tertinggal dari Malaysia (26 juta orang) apalagi Singapura (4,5 juta orang). Lihat Tabel 1. Thailand bersama Indonesia juga sama-sama menempati posisi terburuk kedua dalam peringkat korupsi di Asia (survei PERC 2007).

Tabel 1. PDB/kapita 4 Negara ASEAN (US Dolar)
Tahun
Singapura
Malaysia
Thailand
Indonesia
2001
20,897
3,746
1,863
775
2002
21,251
3,974
2,027
932
2003
21,974
4,254
2,263
1,092
2004
25,161
4,753
2,539
1,150
2005
26,997
5,159
2,749
1,263
Sumber: UN Statistics, 2007

Di tengah upaya memacu pertumbuhan ekonominya, Thailand menghadapi perubahan politik dalam negeri. Dua hal ini, ekonomi dan politik, saling berkaitan dan memberi pengaruh yang luas pada tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Makalah ini membahas perkembangan ekonomi Thailand, dengan fokus pada upaya pemerintah Thailand mengatasi krisis moneter tahun 1997, outlook perkembangan ekonomi setelah pergantian pemerintahan, hubungan ekonomi luar negeri dan program-program menarik yang dapat menjadi pembelajaran bagi pengambil kebijakan bidang ekonomi di Indonesia.


THAILAND SETELAH KRISIS 1997
Dalam upaya mengakhiri krisis mata uang tahun 1997, Thailand sejak awal telah berupaya meningkatkan ekspornya. Pertumbuhan ekspor tahun 2002 Thailand tercatat sudah mengalami kenaikan sebesar 2,8%.[1] Ekspor mengkontribusi sekitar 60% dari total nilai PDB Thailand, sehingga pertumbuhan ekonomi Thailand turut terangkat cepat. Pada tahun itu juga Thailand telah membayar lunas utangnya sebesar 17 miliar USD ke IMF. Pertimbangannya, Thailand tidak ingin terbebani bunga pinjaman dari IMF yang sekitar 2,9% per tahun. Alasan lain adalah bahwa perekonomian Thailand semakin tumbuh mantap dan investasi asing sudah berdatangan, sehingga tidak memerlukan bantuan dana IMF.[2]

Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, Thailand mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar daripada penerimaannya. Anggaran defisit pemerintahan Thailand pada tahun 2002 sekitar 3,4%, sengaja ditingkatkan dari 0,8% pada tahun 2001. Kebijakan ekspansif sektor fiskal itu memungkinkan permintaan domestik pada perekonomian Thailand meningkat, karena porsi belanja modal lebih tinggi daripada belanja untuk keperluan lain, dan belanja modal itu lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan prasarana yang menyerap lapangan kerja banyak sehingga mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk termasuk petani yang produknya mengalami peningkatan permintaan.[3]

Hanya empat tahun setelah krisis, Thailand telah berada di urutan ke-5 dari 10 besar negara di Asia Pasifik yang menerima aliran investasi asing langsung terbanyak, setelah Cina, Hongkong, Singapura, dan Taiwan. Saat itu, Thailand menerima aliran FDI masuk sebesar 3,8 miliar USD, cukup signifikan untuk mengembalikan perekonomian Thailand seperti sebelum krisis.[4] Namun laju ekonomi Thailand kemudian melambat. Seperti halnya Indonesia, pertumbuhan ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap gejolak harga minyak. Harga BBM meningkatkan inflasi dan suku bunga. Tahun 2006 ekonomi Thailand mencatat pertumbuhan sekitar 4,2% tidak jauh berbeda dengan 4,5% pada tahun 2005. Pertumbuhan ini adalah yang paling lambat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.


DRAMA POLITIK THAILAND
Thailand adalah negara yang sudah terbiasa dengan perubahan pemerintahan. Kudeta pertama di Thailand dilakukan oleh perwira-perwira Thai pada tahun 1932, yang mengakhiri sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Sejak itu percobaan kudeta terjadi sebanyak 17 kali sampai tahun 1991. Pada tahun itu Jenderal Sunthon Kongsomphong menggulingkan PM Chatchai Choonhavan karena krisis politik sebelumnya telah menyebabkan ketidakstabilan jalannya pemerintahan. Sejak itu militer berusaha menjaga jarak dengan hiruk pikuk sektor politik. Namun kudeta tahun 1991 itu ternyata hanya tercatat sebagai kudeta terakhir pada abad ke-20.

Pada awal tahun 2006 Thailand mengalami keonaran politik cukup ramai. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja PM Thaksin Shinawatra disulut oleh kebijakan penjualan 49% saham Shin Corp kepada Temasek Holdings dari Singapura. Perusahaan tersebut dijual hanya dua hari setelah Pemerintah mengubah peraturan rasio kepemilikan saham perusahaan asing dari 25% menjadi 49%. Pelaksanaan tender itu oleh masyarakat dinilai bernuansa KKN. Sejak itu rakyat Thailand berulang kali mengecam PM Thaksin Shinawatra. Gelombang aksi unjuk rasa besar menyebabkan pengunduran diri PM Thaksin pada bulan April 2005. Namun, tidak lama kemudian Thaksin Shinawatra menyatakan kembali menjabat sebagai PM. Sejak kembalinya PM Thaksin Shinawatra, situasi politik di Thailand mengalami ketidakpastian terus menerus. Berbagai persoalan mulai dari investasi yang tersendat hingga kasus korupsi dan narkoba menjadi penyebab masalah pokok ekonomi dan politik di Thailand.

Pada tanggal 19 September 2006, Dewan Reformasi Demokrasi mengumumkan pengambil-alihan kekuasaan dari tangan PM Thaksin Shinawatra. Sejumlah alasan bagi dilancarkannya kudeta tersebut a.l. meluasnya perpecahan di dalam negeri dan masalah dalam pemerintah yang dipicu oleh ketidakpercayaan masyarakat, tuduhan korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Militer kemudian menetapkan keadaan darurat perang, membekukan konstitusi 1997, membubarkan parlemen dan Mahkamah Agung. Kudeta ini mengagetkan banyak pengamat politik asing.[5]


PRAKARSA STRATEGIS YANG MENGEJUTKAN
Pengaruh ekonomi dunia dan reaksi spontan pemerintah juga menimbulkan goncangan ekonomi Thailand pada akhir tahun 2006. Sebelumnya, pada pertengahan tahun 2006, muncul outlook bahwa The Fed akan menurunkan tingkat suku bunganya karena laju inflasi tahunan menurun dari 3,82% (Agustus 2006) ke 1,31% (Oktober 2006). Sementara itu, Bank Sentral Eropa baru saja menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin ke level 3,5% karena inflasi yang tinggi. Ekspektasi akan terjadinya penurunan suku bunga di AS di tengah semakin tingginya suku bunga di Eropa menyebabkan Dolar AS melemah terhadap Euro dan sebagian besar mata uang dunia. Ini menyebabkan Baht juga mengalami penguatan dari 37,6 per Dolar AS di awal bulan Oktober 2006, menjadi 35,1 per Dolar AS pada tanggal 18 Desember 2006.

Dalam waktu kurang dari tiga bulan nilai Baht mengalami penguatan sebesar 6,4%. Penguatan ini lebih cepat dari penguatan mata uang negara lain.[6] Penguatan Baht yang terlalu cepat ini menimbulkan kekhawatiran yang cukup mendalam. Baht yang terlalu kuat akan mengurangi daya saing produk-produk Thailand di pasar dunia. Jika hal ini dibiarkan terus, maka Baht akan melampaui nilai fundamentalnya. Koreksinya dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketidakstabilan di pasar mata uang.

Bank of Thailand (BoT) kemudian membuat sejumlah kebijakan. Pada Desember 2006, BoT mengharuskan perbankan memberlakukan ketentuan bahwa 30% dari deposito mata uang luar negeri akan bebas bunga selama satu tahun. Kebijakan itu untuk mencegah investor berspekulasi terhadap Baht. Para investor yang ingin menarik investasi dalam waktu kurang dari satu tahun diharuskan membayar penalti sebesar 33% dari jumlah yang diinvestasikan. Peraturan yang berlaku juga mengharuskan investasi dilindungnilaikan terhadap perubahan mata uang selama 12 bulan dan aliran investasi jangka pendek harus dihedge sepanjang umur investasi tersebut. Kebijakan pemerintah lain adalah investor asing harus mengurangi kepemilikan sahamnya menjadi maksimal 50% (sebelumnya tidak dibatasi) di perusahaan domestik dalam tempo paling lambat dua tahun. Saat ini terdapat 14.000 perusahaan asing yang telah menanamkan modalnya di Thailand. Jika mereka harus mendivestasi sahamnya, investor domestik belum tentu dapat menyerap saham yang akan dilepas. Kemungkinan ini menyebabkan banyak kalangan meragukan stabilitas ekonomi Thailand. Bisa jadi Thailand kembali memicu krisis finansial di Asia.

Kebijakan itu juga tidak memerhatikan dampak negatif terhadap pasar modal. Akibatnya, kebijakan kapital kontrol yang diambil tidak hanya membuat Baht berhenti menguat, tetapi juga membuat bursa saham di Thailand terkoreksi dengan tajam. Reaksi para pemodal adalah menarik dananya sehingga Baht melemah, seperti yang diharapkan pemerintah. Pelemahan itu diikuti merosotnya indeks SET yang mengalami koreksi 15%, level terburuk selama 16 tahun terakhir. Efek domino terasa di negara-negara Asia lain.[7] Pengendalian modal itu telah memindahkan dana dari pasar modal senilai 23 miliar USD ke luar negeri. Menghadapi kenyataan itu, Menteri Keuangan Thailand kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengecualikan keperluan untuk transaksi saham dari kebijakan pengendalian modal tersebut. Pembatalan kebijakan capital control itu telah dapat menenangkan kembali investor di pasar modal. Bursa saham Thailand pun kembali mengalami penguatan. Kebijakan BoT tidak sepenuhnya gagal karena tujuan untuk mencegah penguatan Baht yang berlebihan dapat dinilai cukup berhasil. Bagaimanapun, BoT sudah mengirim pesan dengan tegas ke pasar bahwa ia tidak menginginkan Baht yang terlalu kuat.

Saat ini gejolak Baht dan bursa saham Thailand sudah tenang. Kekhawatiran terjadinya krisis moneter jilid 2 tidak terbukti. Bursa regional kembali bangkit setelah Filipina, Malaysia dan Indonesia menegaskan tidak akan mengeluarkan kebijakan serupa. Indeks harga saham di Asia kemudian merangkak naik kembali. Walaupun sempat menimbulkan kepanikan sesaat di negara-negara tetangga, namun keterpurukan pasar saham di Thailand sebetulnya memberi berkah bagi mereka.[8]


PERKIRAAN EKONOMI 2007
Tahun 2007 ini pertumbuhan ekonomi Thailand diperkirakan akan berada pada kisaran 5–6%.[9] Kinerja ini tergantung pada produktivitas ekonomi, daya saing komoditas ekspor, dan jadi tidaknya pembangunan beberapa megaproyek, dan ada tidaknya kemajuan dalam reformasi struktural. APBN ditetapkan sebesar 1.48 triliun Baht. Utang negara dibatasi tidak lebih dari 50% PDB, kebijakan ini diumumkan secara luas kepada publik sehingga masyarakat dapat ikut mengontrolnya. Pembayaran utang sebanyak 16% dari pengeluaran APBN, sehingga tersedia cukup banyak anggaran untuk membangun negara.

Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 dan program-program penghematan energi akan mengurangi besarnya impor BBM tahun ini. Pertumbuhan ekspor diramalkan sebesar 15.3%, hampir sama dengan tahun 2006. Elektronika, komponen komputer, mobil, dan produk pertanian merupakan komoditas ekspor utama Thailand. Ekspor jasa, utamanya pariwisata, dipastikan akan terus menguat sejak bencana tsunami tahun 2004. Defisit neraca perdagangan akan sekitar $ 4.6 billion–4.9 billion atau 2.5% dari PDB. Defisit ini tidak akan menjadi masalah jika ekonomi berada di jalur pertumbuhan tinggi, dengan ekspor yang terus mendatangkan Dolar ke dalam negeri.

Strategi peningkatan ekspor dilakukan secara bersamaan dengan strategi peningkatan permintaan domestik. Permintaan domestik didorong dengan a.l. program pembangunan prasarana pedesaan yang menunjukkan multiplier effect yang tinggi. Dana untuk pembangunan lebih dari 30,000 desa telah ditingkatkan dari 9.4 triliun Baht (2005) menjadi 19 triliun Baht (2006). Tampak bahwa kebijakan alokasi anggaran pemerintah tidak menganut sistem perubahan yang pro rata.

Karena modal swasta domestik yang diperlukan untuk mengurangi tekanan pada keuangan pemerintah terbatas, maka keikutsertaan swasta asing dalam pembangunan didorong dengan public-private partnership. Pengutamaan pembiayaan untuk infrastruktur fisik menuntut peningkatan kapasitas SDM. Studi Bank Dunia mengenai iklim investasi Thailand menemukan bahwa keterbatasan SDM adalah cukup signifikan di Thailand. Pengeluaran untuk tenaga kerja menyedot sekitar 15% dari rata-rata biaya produksi. Jika kemampuan SDM dapat ditingkatkan maka biaya produksi dapat ditekan.

Agar investasi asing meningkat, Pemerintah Thailand menawarkan insentif pajak untuk reinvestasi selama 3 tahun, dan memberikan insentif untuk perusahaan eksisting jika melakukan proses peningkatan nilai tambah pada produk mentahnya, seperti melakukan pengolahan hasil pertanian.

Thailand menjadikan program privatisasi sebagai salah satu bentuk reformasi strukturalnya. Privatisasi BUMN dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan menambah penerimaan pemerintah, sekaligus untuk mengurangi pengeluaran pemerintah. Master plan privatisasi telah membuat garis besar dan komisi provatisasi juga telah bekerja untuk mengatur, menerapkan, dan mengaudit proses penjualan BUMN. BUMN yang akan diprivatisasi antara lain maskapai penerbangan dan perusahaan minyak. Meletakkan program privatisasi kembali pada jalurnya akan mendorong pertumbuhan pasar modal, membantu pembiayaan investasi infrastruktur, dan meningkatkan kepercayaan investor. PMA diharapkan akan datang dalam jumlah yang lebih banyak, dan ini berarti menambah lapangan kerja.

Namun program privatisasi terhambat oleh protes dari serikat buruh yang khawatir akan terjadi gelombang PHK. Lembaga konsumen juga cenderung anti privatisasi karena harga produk-produk dapat menjadi lebih mahal setelah privatisasi walau biasanya menurun terlebih dahulu. Privatisasi juga terganjal oleh belum adanya peraturan atau keputusan penting, seperti berapa penerimaan negara yang wajar dari penjualan suatu BUMN. Rakyat Thailand tentu tidak ingin BUMN yang ada dijual murah kepada pembeli yang biasanya dari luar negeri.

Selama ini tingkat inflasi Thailand dapat dipertahankan menjadi rata-rata satu dijit angka. Tekanan inflasi tahun ini diduga akan berkurang sejalan dengan kebijakan moneter ketat yang akan memperlambat hasrat belanja konsumen, yang mungkin juga terpengaruh oleh ketidak-pastian dalam sektor politik. Kebijakan perdagangan pemerintah Thailand yang utama adalah secara bertahap mengendalikan kenaikan harga 26 barang pokok dan 150 barang dan bahan bangunan yang sebelumnya dikendalikan secara ketat, untuk mengimbangi peningkatan biaya produksi akibat kenaikan harga BBM. Dengan cara demikian, masyarakat tidak mengalami kesulitan memperoleh bahan-bahan pokok dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengkompensasi kenaikan harga-harga akibat pengurangan subsidi BBM, misalnya.

Keterlambatan dalam realisasi APBN dan melunaknya hasrat belanja konsumen merupakan faktor penurun inflasi pada awal-awal tahun anggaran. Sedangkan kenaikan pendapatan petani merupakan faktor sebaliknya. Jika Departemen Perdagangan dapat mengendalikan kenaikan harga barang-barang konsumsi pada bulan-bulan berikutnya, maka tingkat inflasi akan sekitar 3-4% di 2007. Tahun 2006 yang lalu tingkat inflasi adalah 3.5%.[10] Untuk mengendalikan inflasi, BoT mungkin dapat menaikkan tingkat suku bunga beberapa kali dalam setahun sehingga BoT rate mencapai tingkat 4-5.0%[11]. Dengan mengendalikan faktor-faktor utama penyebab kenaikan harga-harga (harga BBM, gaji dan tingkat suku bunga) yang semuanya memberi pengaruh pada biaya produksi, maka inflasi akan terjaga tetap rendah. Konsumsi swasta diharapkan akan meningkat dengan menurunnya tingkat pajak pendapatan pribadi yang diterapkan sejak Agustus 2006.

Ekspor Thailand cukup prospektif sebagai mesin pertumbuhan ekonomi jika harga komoditas di pasar dunia tetap baik dan slowdown dalam perekonomian AS tidak berpengaruh banyak pada ekspor Thailand. Target ekspor Pemerintah Thailand adalah 14%.[12] Jika ekspor tercapai seperti yang ditargetkan maka defisit neracara perdagangan pada tahun 2007 akan sekitar 2% dari PDB. Pertumbuhan PDB tergantung juga pada apakah musim kemarau panjang akan muncul lagi. Namun Departemen Pertanian telah melakukan banyak upaya untuk memperbaiki sistem irigasi, yang diharapkan akan mampu mengatasi kekeringan di pedesaan. Sektor industri diharapkan tumbuh baik pada tingkat 7%, didukung a.l. oleh tingginya pertumbuhan industri permesinan, kendaraan bermotor, dan tekstil.


RESIKO KEGAGALAN
Resiko pertumbuhan ekonomi Thailand datang dari berhasil tidaknya pelaksanaan investasi megaproyek. Walaupun perkiraan pertumbuhan ekonomi Thailand cukup cerah tahun 2007 ini dengan kondisi fiskal yang sehat, pertumbuhan ekspor baik, dan cadangan devisa cukup banyak, namun adanya ketidak-pastian di sektor politik akan mengikis kepercayaan konsumen dan investor dalam dan luar negeri. Kemungkinan ketegangan sosial di Thailand selatan akan memberikan resiko tambahan bagi perkembangan ekonomi Thailand. Mungkinkan Thailand mengikuti jejak Indonesia dalam memecahkan masalah serupa?

Harga minyak yang meningkat dapat menyebabkan masalah baru, sebab ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap harga BBM dunia. Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005[13] adalah langkah untuk mengurangi konsumsi BBM impor. Langkah lain adalah mempromosikan penggunaan bahan bakar nabati (BBN), seperti bio-diesel dan gas-alam untuk kendaraan. Upaya pemerintah dalam hal ini adalah a.l. mengurangi bea cukai atas produksi BBN dan mengkonversi kendaraan dinas dan taksi sehingga dapat menggunakan BBN.[14]

Ketidakstabilan sektor politik dapat menyebabkan pelaksanaan pembangunan investasi infrastruktur juga mundur dari jadual yang ditetapkan. Ditambah dengan kemungkinan harga minyak dunia yang tinggi, maka pertumbuhan jangka pendek mungkin akan tidak sebesar yang diharapkan. Jika ini terjadi maka akan ada keterlambatan dalam pemanfaatan dana 42 miliar USD untuk infrastruktur megaproyek. Sifat pemerintahan sementara saat ini juga dikhawatirkan menyulitkan pengambilan keputusan strategis yang mempengaruhi realisasi APBN, implementasi kebijakan dan program, dan penundaan proyek infrastruktur lain, seperti 3 jalur subway di Bangkok yang telah menyebabkan dana sekitar 4.3 miliar USD urung mengalir ke perekonomian Thailand pada waktunya. Investasi megaproyek berpotensi menyumbang 0.5–0.7% pertumbuhan PDB setiap tahun karena ada faktor multiplier effect. Jika investasi ini batal, maka perekonomian akan tumbuh sedang-sedang saja. Kalaupun pemerintahan baru dapat dibentuk, pemerintah diduga masih harus memusatkan perhatian pada pembenahan kembali sendi-sendi pokok kenegaraan seperti amandemen konstitusi dan bukan pada berbagai masalah ekonomi.


KEBIJAKAN DAN PROGRAM TERTENTU
Kemiripan ekonomi Thailand dan Indonesia memungkinkan kebijakan yang sama dapat diterapkan di negara lain dengan modifikasi seperlunya. Beberapa kebijakan dan progran pembangunan ekonomi Thailand yang menarik untuk diamati adalah sbb.

a. FTA dengan Jepang
Untuk meningkatkan ekspor, Thailand menjalin hubungan dagang khusus dengan Jepang melalui kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreement). Segera setelah FTA ditetapkan, sedikitnya 20 perusahaan Jepang, yang mayoritas bergerak di sektor otomotif, merencanakan menanamkan modal baru di Thailand senilai 1,15 miliar USD. Menurut Departemen Promosi Industri Thailand, total modal yang ditanamkan perusahaan-perusahaan tersebut diperkirakan mencapai 40 miliar Baht.[15] Perusahaan asal Jepang merupakan penanam modal terbesar di Thailand, dengan kontribusi mencapai 43% dari total modal asing yang ditanam di negara itu. Saat ini terdapat sekitar 1.300 perusahaan Jepang yang beroperasi di Thailand yang mempekerjakan sedikitnya 50.000 karyawan lokal. Thailand telah menjadi home base bagi banyak perusahaan Jepang untuk melakukan ekspor ke negara-negara lain di samping membidik konsumen lokal. Sebagai contoh, Toyota Motor Thailand Ltd. pada bulan Maret 2007 berhasil menjual 22.813 unit dari total penjualan mobil sebanyak 56.021 unit. Isuzu berada di peringkat kedua dengan angka penjualan 13.922 unit. Produksi mobil ini melampaui produksi mobil di Indonesia. Lihat Tabel 2.

Tabel 2. Penjualan Mobil baru Thailand dan Indonesia (Unit)
T a h u n
Thailand
Indonesia
Okt-2005
57.399
35.112
Okt-2006
51.390
20.694
Sumber : Pusat Data Bisnis Indonesia, diolah


b. Insentf Investasi
BKPM Thailand telah menawarkan insentif kepada seluruh perusahaan yang ada di Thailand untuk penanaman modal baru. Perusahaan yang berminat mengajukan rencana investasi dan produksi kepada Badan itu. BKPM antara lain telah menyetujui rencana pengembangan mobil hemat bahan bakar. Para pengusaha harus melengkapi rencana pembangunan fasilitas produksi baru termasuk rencana memproduksi mesin dan komponen untuk mendapatkan insentif. Pengusaha juga harus membuat paling sedikit 100.000 unit mobil dalam lima tahun operasi, dan mobil yang dihasilkan harus bisa dikendarai sejauh lebih dari 20 kilometer dengan satu liter bensin saja. BKPM sebelumnya sudah mengurangi pajak impor untuk meningkatkan daya tarik investasi untuk membangun pabrik otomotif di Thailand.

c. Dukungan untuk UKM
Pemerintah Thailand mendorong UKM dengan berbagai cara yang efektif. Salah satunya adalah dengan melakukan pameran dagang di berbagai negara. Sejumlah 46 perusahaan meramaikan Thailand Exhibition 2007 pada bulan Maret 2007 di Jakarta. Pameran ini diselenggarakan oleh Office of Commercial Affairs Kedubes Thailand di Jakarta mewakili Department of Export Promotion, Departemen Perdagangan Thailand. Produk yang ditampilkan pada pameran meliputi makanan dan minuman, garmen dan tekstil, aksesori, produk kesehatan dan kecantikan serta pariwisata. Mereka juga menampilkan berbagai varietas buah segar, seperti kelengkeng, rambutan, mangga hijau, mangga kuning, buah pum, apel merah mawar dan tamarin manis. Pameran dagang ini merupakan bagian penting dari program One Tampon One Product.

Pemerintah Thailand juga mendirikan BUMN nirlaba Allied Retail Trade Co.[16] untuk melakukan pembelian barang dari pabrik kemudian menyalurkannya ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya. Perbankan Thailand, tidak hanya bank-bank BUMN, mendorong pergerakan sektor riel dengan memberi kemudahan kredit bagi pengusaha toko tradisional yang memodernisasi toko masing-masing, yang dengan demikian mempunyai prospek baik untuk mengembalikan poinjaman. Toko-toko tradisional juga diberikan keringanan pajak apabila masuk ke dalam jaringan suplai barang BUMN nirlaba tersebut.

d. Penataan Zona Perdagangan Eceran
Seperti halnya Indonesia, di Thailand jumlah peritel dalam berbagai jenis berkembang pesat sejak ekonomi pulih dari krisis moneter. Sebagian besar peritel di Thailand adalah toko tradisional dan sebagian kecil (dari segi jumlah) adalah convenient store. Supermarket pernah hampir mencapai 500 toko, tetapi kemudian berkurang menjadi 438 toko (2005), sedang hipermarket tumbuh konstan mencapai 29 unit (2005). Lihat Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Peritel di Thailand (unit)
Keterangan
2003
2004
2005
Toko tradisional
273.314
278.278
282.705
Convenience store*
3.861
3.988
5.026
Supermarket
499
474
438
Hipermarket
107
120
135
Pusat perkulakan
23
29
29
Sumber : AC Nielsen, 2006

Pemerintah Thailand sangat serius menangani masalah ritel dan memberlakukan undang-undang ritel Royal Decree for Retail Act yang berisi aturan zona, jam buka, harga barang, dan jenis ritel. Dengan adanya UU tersebut maka Pemkot Bangkok Metropolitan menetapkan zona-zona perdagangan eceran. Misalnya zona barat daya, zona tenggara, dan zona timur laut ditetapkan, kemudian dengan menarik garis vertikal dan horizontal ditentukanlah zona satu, dua, tiga, empat dan lima. Setiap zona diperuntukkan bagi ritel kelompok tertentu agar tidak terjadi ketimpangan persaingan usaha, yang berakibat sekelompok pedagang ritel menurun omzetnya karena keberadaan ritel jenis lain didekatnya, seperti yang terjadi di Jakarta. Persisnya, UU Ritel itu mengatur penerapan zona atau tempat usaha satu jenis ritel, seperti hipermarket berada pada zona empat atau lima, sedangkan zona satu hingga tiga hanya diperuntukkan untuk warung tradisional, grosir dan supermarket. Aturan zona juga melarang pusat perbelanjaan atau toko berskala besar pada daerah padat arus lalu lintas.


PENUTUP
Thailand dikenal sebagai negara tujuan investasi yang menarik dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun pandangan kestabilan politik di Thailand yang mendukung masuknya modal asing telah memudar menyusul terjadinya gejolak politik pada tahun 2006. Reputasinya sebagai negara tujuan investasi mengalami kemunduran. Thailand saat ini membutuhkan langkah yang tepat untuk memulihkan iklim investasinya yang memburuk. Membangkitkan kepercayaan investor agar kembali menanamkan modalnya diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Pemerintah Thailand menawarkan berbagai insentif kepada perusahaan domestik dan asing yang berniat menambah modal.

Thailand mengandalkan ekspor komponen elektronik/komputer/mobil dan produk-produk pertanian lainnya, di samping pariwisata, untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Utang pemerintah dijaga tidak melebihi 50% PDB dan pembayaran utang dipertahankan rendah agar ada ruang untuk membiayai pembangunan.

Kebijakan dan program pembangunan prasarana, sektor pertanian, peningkatan ekspor, upaya mendorong UKM dan dukungan pada ritel lokal patut mendapat perhatian bagi pembuat kebijakan ekonomi Indonesia dalam rangka membangkitkan sektor riil yang saat ini stagnan.

--o0o--



Penulis adalah Ahli Perencana Madya pada Kedeputian Ekonomi Bappenas.
[1] Sebaliknya, saat itu ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan negatif, yaitu sebesar minus 2%, yang lebih baik dari minus 23% pada tahun 2001.
[2] Indonesia pada tahun 2006 juga telah melunasi utangnya kepada IMF, yang nilainya lebih besar dari utang Thailand kepada IMF.
[3] Indonesia saat itu tidak dapat melakukan kebijakan anggaran yang ekspansif karena inflasi masih tinggi. Defisit yang besar akan mendorong inflasi lebih tinggi lagi, sedangkan inflasi menyulitkan kehidupan sebagian besar masyarakat karena menyebabkan daya belinya berkurang. Di sisi lain, utang Indonesia sudah hampir 100% dari total PDB. Dengan kondisi itu, maka pemerintah harus mengutamakan kebijakan anggaran yang hati-hati. Jika menjalankan anggaran ekspansif, maka utang akan meningkat, karena anggaran defisit harus ditutup dari utang.
[4] Sebaliknya, Indonesia mengalami aliran FDI keluar dalam jumlah yang hampir sama, yaitu tiga miliar USD. Kemungkinan besar hal ini terkait dengan situasi politik yang menimbulkan tingginya ketidakpastian berusaha di Indonesia saat itu.
[5] Semula negara yang diduga akan segera mengalami pergantian pemerintahan adalah Filipina yang sepanjang tahun 2006 itu mengalami beberapa kali percobaan kudeta terhadap Presiden Macapagal Arroyo. Ternyata Arroyo tetap memerintah sedangkan Thaksin mundur.

[6] Rupiah, misalnya, dalam periode yang sama hanya mengalami penguatan sebesar 1,7% terhadap Dolar AS.
[7] Termasuk Indonesia yang mengalami koreksi atas Rupiah sebesar 0,9%.
[8] Price earnings ratio saham-saham Indonesia, misalnya, menjadi lebih atraktif dengan tidak diterapkannya capital control. Indonesia menjadi berpeluang menerima dana limpahan dari fund hedgers yang meninggalkan Thailand.
[9] Analisis ini didasarkan pada ADB, Asian Development Outlook 2007 Update.
[10] Jauh lebih rendah dari inflasi di Indonesia yang ditargetkan sebesar 6% pada tahun 2007.
[11] Cukup rendah dibanding BI rate yang sebesar 8-9% saat ini.
[12] Sebagai perbandingan, harapan pertumbuhan ekspor Indonesia adalah sebesar 20% (2007).
[13] Di Indonesia hal ini dilakukan pada bulan Oktober 2005.
[14] Kebijakan ini mungkin baik juga diberlakukan di Indonesia.
[15] Upaya Indonesia dan Jepang membentuk FTA terkendala oleh peraturan pelaksanaan UU Penanaman Modal yang masih belum selesai.
[16] Dengan modal kerja ”hanya” sekitar Rp. 80 miliar (9,1 juta USD).

Tantangan Pemerintah Kota Dalam Pembangunan Perkotaan

Indonesia (250 juta orang) dan Thailand (65 juta orang) adalah dua negara yang segolongan dalam perekonomian: sama-sama negara berkembang, mantan macan Asia pada tahun 1990an, pernah mengalami krisis mata uang, sama-sama berada di jalur demokrasi walau dengan gaya berbeda, dan kini sama-sama ingin menjadi negara maju berikutnya setelah tertinggal dari Malaysia (26 juta orang) apalagi Singapura (4,5 juta orang). Lihat Tabel 1. Thailand bersama Indonesia juga sama-sama menempati posisi terburuk kedua dalam peringkat korupsi di Asia (survei PERC 2007).

Tabel 1. PDB/kapita 4 Negara ASEAN (US Dolar)
Tahun
Singapura
Malaysia
Thailand
Indonesia
2001
20,897
3,746
1,863
775
2002
21,251
3,974
2,027
932
2003
21,974
4,254
2,263
1,092
2004
25,161
4,753
2,539
1,150
2005
26,997
5,159
2,749
1,263
Sumber: UN Statistics, 2007

Di tengah upaya memacu pertumbuhan ekonominya, Thailand menghadapi perubahan politik dalam negeri. Dua hal ini, ekonomi dan politik, saling berkaitan dan memberi pengaruh yang luas pada tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Makalah ini membahas perkembangan ekonomi Thailand, dengan fokus pada upaya pemerintah Thailand mengatasi krisis moneter tahun 1997, outlook perkembangan ekonomi setelah pergantian pemerintahan, hubungan ekonomi luar negeri dan program-program menarik yang dapat menjadi pembelajaran bagi pengambil kebijakan bidang ekonomi di Indonesia.


THAILAND SETELAH KRISIS 1997
Dalam upaya mengakhiri krisis mata uang tahun 1997, Thailand sejak awal telah berupaya meningkatkan ekspornya. Pertumbuhan ekspor tahun 2002 Thailand tercatat sudah mengalami kenaikan sebesar 2,8%.[1] Ekspor mengkontribusi sekitar 60% dari total nilai PDB Thailand, sehingga pertumbuhan ekonomi Thailand turut terangkat cepat. Pada tahun itu juga Thailand telah membayar lunas utangnya sebesar 17 miliar USD ke IMF. Pertimbangannya, Thailand tidak ingin terbebani bunga pinjaman dari IMF yang sekitar 2,9% per tahun. Alasan lain adalah bahwa perekonomian Thailand semakin tumbuh mantap dan investasi asing sudah berdatangan, sehingga tidak memerlukan bantuan dana IMF.[2]

Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, Thailand mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar daripada penerimaannya. Anggaran defisit pemerintahan Thailand pada tahun 2002 sekitar 3,4%, sengaja ditingkatkan dari 0,8% pada tahun 2001. Kebijakan ekspansif sektor fiskal itu memungkinkan permintaan domestik pada perekonomian Thailand meningkat, karena porsi belanja modal lebih tinggi daripada belanja untuk keperluan lain, dan belanja modal itu lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan prasarana yang menyerap lapangan kerja banyak sehingga mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk termasuk petani yang produknya mengalami peningkatan permintaan.[3]

Hanya empat tahun setelah krisis, Thailand telah berada di urutan ke-5 dari 10 besar negara di Asia Pasifik yang menerima aliran investasi asing langsung terbanyak, setelah Cina, Hongkong, Singapura, dan Taiwan. Saat itu, Thailand menerima aliran FDI masuk sebesar 3,8 miliar USD, cukup signifikan untuk mengembalikan perekonomian Thailand seperti sebelum krisis.[4] Namun laju ekonomi Thailand kemudian melambat. Seperti halnya Indonesia, pertumbuhan ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap gejolak harga minyak. Harga BBM meningkatkan inflasi dan suku bunga. Tahun 2006 ekonomi Thailand mencatat pertumbuhan sekitar 4,2% tidak jauh berbeda dengan 4,5% pada tahun 2005. Pertumbuhan ini adalah yang paling lambat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.


DRAMA POLITIK THAILAND
Thailand adalah negara yang sudah terbiasa dengan perubahan pemerintahan. Kudeta pertama di Thailand dilakukan oleh perwira-perwira Thai pada tahun 1932, yang mengakhiri sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Sejak itu percobaan kudeta terjadi sebanyak 17 kali sampai tahun 1991. Pada tahun itu Jenderal Sunthon Kongsomphong menggulingkan PM Chatchai Choonhavan karena krisis politik sebelumnya telah menyebabkan ketidakstabilan jalannya pemerintahan. Sejak itu militer berusaha menjaga jarak dengan hiruk pikuk sektor politik. Namun kudeta tahun 1991 itu ternyata hanya tercatat sebagai kudeta terakhir pada abad ke-20.

Pada awal tahun 2006 Thailand mengalami keonaran politik cukup ramai. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja PM Thaksin Shinawatra disulut oleh kebijakan penjualan 49% saham Shin Corp kepada Temasek Holdings dari Singapura. Perusahaan tersebut dijual hanya dua hari setelah Pemerintah mengubah peraturan rasio kepemilikan saham perusahaan asing dari 25% menjadi 49%. Pelaksanaan tender itu oleh masyarakat dinilai bernuansa KKN. Sejak itu rakyat Thailand berulang kali mengecam PM Thaksin Shinawatra. Gelombang aksi unjuk rasa besar menyebabkan pengunduran diri PM Thaksin pada bulan April 2005. Namun, tidak lama kemudian Thaksin Shinawatra menyatakan kembali menjabat sebagai PM. Sejak kembalinya PM Thaksin Shinawatra, situasi politik di Thailand mengalami ketidakpastian terus menerus. Berbagai persoalan mulai dari investasi yang tersendat hingga kasus korupsi dan narkoba menjadi penyebab masalah pokok ekonomi dan politik di Thailand.

Pada tanggal 19 September 2006, Dewan Reformasi Demokrasi mengumumkan pengambil-alihan kekuasaan dari tangan PM Thaksin Shinawatra. Sejumlah alasan bagi dilancarkannya kudeta tersebut a.l. meluasnya perpecahan di dalam negeri dan masalah dalam pemerintah yang dipicu oleh ketidakpercayaan masyarakat, tuduhan korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Militer kemudian menetapkan keadaan darurat perang, membekukan konstitusi 1997, membubarkan parlemen dan Mahkamah Agung. Kudeta ini mengagetkan banyak pengamat politik asing.[5]


PRAKARSA STRATEGIS YANG MENGEJUTKAN
Pengaruh ekonomi dunia dan reaksi spontan pemerintah juga menimbulkan goncangan ekonomi Thailand pada akhir tahun 2006. Sebelumnya, pada pertengahan tahun 2006, muncul outlook bahwa The Fed akan menurunkan tingkat suku bunganya karena laju inflasi tahunan menurun dari 3,82% (Agustus 2006) ke 1,31% (Oktober 2006). Sementara itu, Bank Sentral Eropa baru saja menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin ke level 3,5% karena inflasi yang tinggi. Ekspektasi akan terjadinya penurunan suku bunga di AS di tengah semakin tingginya suku bunga di Eropa menyebabkan Dolar AS melemah terhadap Euro dan sebagian besar mata uang dunia. Ini menyebabkan Baht juga mengalami penguatan dari 37,6 per Dolar AS di awal bulan Oktober 2006, menjadi 35,1 per Dolar AS pada tanggal 18 Desember 2006.

Dalam waktu kurang dari tiga bulan nilai Baht mengalami penguatan sebesar 6,4%. Penguatan ini lebih cepat dari penguatan mata uang negara lain.[6] Penguatan Baht yang terlalu cepat ini menimbulkan kekhawatiran yang cukup mendalam. Baht yang terlalu kuat akan mengurangi daya saing produk-produk Thailand di pasar dunia. Jika hal ini dibiarkan terus, maka Baht akan melampaui nilai fundamentalnya. Koreksinya dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketidakstabilan di pasar mata uang.

Bank of Thailand (BoT) kemudian membuat sejumlah kebijakan. Pada Desember 2006, BoT mengharuskan perbankan memberlakukan ketentuan bahwa 30% dari deposito mata uang luar negeri akan bebas bunga selama satu tahun. Kebijakan itu untuk mencegah investor berspekulasi terhadap Baht. Para investor yang ingin menarik investasi dalam waktu kurang dari satu tahun diharuskan membayar penalti sebesar 33% dari jumlah yang diinvestasikan. Peraturan yang berlaku juga mengharuskan investasi dilindungnilaikan terhadap perubahan mata uang selama 12 bulan dan aliran investasi jangka pendek harus dihedge sepanjang umur investasi tersebut. Kebijakan pemerintah lain adalah investor asing harus mengurangi kepemilikan sahamnya menjadi maksimal 50% (sebelumnya tidak dibatasi) di perusahaan domestik dalam tempo paling lambat dua tahun. Saat ini terdapat 14.000 perusahaan asing yang telah menanamkan modalnya di Thailand. Jika mereka harus mendivestasi sahamnya, investor domestik belum tentu dapat menyerap saham yang akan dilepas. Kemungkinan ini menyebabkan banyak kalangan meragukan stabilitas ekonomi Thailand. Bisa jadi Thailand kembali memicu krisis finansial di Asia.

Kebijakan itu juga tidak memerhatikan dampak negatif terhadap pasar modal. Akibatnya, kebijakan kapital kontrol yang diambil tidak hanya membuat Baht berhenti menguat, tetapi juga membuat bursa saham di Thailand terkoreksi dengan tajam. Reaksi para pemodal adalah menarik dananya sehingga Baht melemah, seperti yang diharapkan pemerintah. Pelemahan itu diikuti merosotnya indeks SET yang mengalami koreksi 15%, level terburuk selama 16 tahun terakhir. Efek domino terasa di negara-negara Asia lain.[7] Pengendalian modal itu telah memindahkan dana dari pasar modal senilai 23 miliar USD ke luar negeri. Menghadapi kenyataan itu, Menteri Keuangan Thailand kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengecualikan keperluan untuk transaksi saham dari kebijakan pengendalian modal tersebut. Pembatalan kebijakan capital control itu telah dapat menenangkan kembali investor di pasar modal. Bursa saham Thailand pun kembali mengalami penguatan. Kebijakan BoT tidak sepenuhnya gagal karena tujuan untuk mencegah penguatan Baht yang berlebihan dapat dinilai cukup berhasil. Bagaimanapun, BoT sudah mengirim pesan dengan tegas ke pasar bahwa ia tidak menginginkan Baht yang terlalu kuat.

Saat ini gejolak Baht dan bursa saham Thailand sudah tenang. Kekhawatiran terjadinya krisis moneter jilid 2 tidak terbukti. Bursa regional kembali bangkit setelah Filipina, Malaysia dan Indonesia menegaskan tidak akan mengeluarkan kebijakan serupa. Indeks harga saham di Asia kemudian merangkak naik kembali. Walaupun sempat menimbulkan kepanikan sesaat di negara-negara tetangga, namun keterpurukan pasar saham di Thailand sebetulnya memberi berkah bagi mereka.[8]


PERKIRAAN EKONOMI 2007
Tahun 2007 ini pertumbuhan ekonomi Thailand diperkirakan akan berada pada kisaran 5–6%.[9] Kinerja ini tergantung pada produktivitas ekonomi, daya saing komoditas ekspor, dan jadi tidaknya pembangunan beberapa megaproyek, dan ada tidaknya kemajuan dalam reformasi struktural. APBN ditetapkan sebesar 1.48 triliun Baht. Utang negara dibatasi tidak lebih dari 50% PDB, kebijakan ini diumumkan secara luas kepada publik sehingga masyarakat dapat ikut mengontrolnya. Pembayaran utang sebanyak 16% dari pengeluaran APBN, sehingga tersedia cukup banyak anggaran untuk membangun negara.

Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 dan program-program penghematan energi akan mengurangi besarnya impor BBM tahun ini. Pertumbuhan ekspor diramalkan sebesar 15.3%, hampir sama dengan tahun 2006. Elektronika, komponen komputer, mobil, dan produk pertanian merupakan komoditas ekspor utama Thailand. Ekspor jasa, utamanya pariwisata, dipastikan akan terus menguat sejak bencana tsunami tahun 2004. Defisit neraca perdagangan akan sekitar $ 4.6 billion–4.9 billion atau 2.5% dari PDB. Defisit ini tidak akan menjadi masalah jika ekonomi berada di jalur pertumbuhan tinggi, dengan ekspor yang terus mendatangkan Dolar ke dalam negeri.

Strategi peningkatan ekspor dilakukan secara bersamaan dengan strategi peningkatan permintaan domestik. Permintaan domestik didorong dengan a.l. program pembangunan prasarana pedesaan yang menunjukkan multiplier effect yang tinggi. Dana untuk pembangunan lebih dari 30,000 desa telah ditingkatkan dari 9.4 triliun Baht (2005) menjadi 19 triliun Baht (2006). Tampak bahwa kebijakan alokasi anggaran pemerintah tidak menganut sistem perubahan yang pro rata.

Karena modal swasta domestik yang diperlukan untuk mengurangi tekanan pada keuangan pemerintah terbatas, maka keikutsertaan swasta asing dalam pembangunan didorong dengan public-private partnership. Pengutamaan pembiayaan untuk infrastruktur fisik menuntut peningkatan kapasitas SDM. Studi Bank Dunia mengenai iklim investasi Thailand menemukan bahwa keterbatasan SDM adalah cukup signifikan di Thailand. Pengeluaran untuk tenaga kerja menyedot sekitar 15% dari rata-rata biaya produksi. Jika kemampuan SDM dapat ditingkatkan maka biaya produksi dapat ditekan.

Agar investasi asing meningkat, Pemerintah Thailand menawarkan insentif pajak untuk reinvestasi selama 3 tahun, dan memberikan insentif untuk perusahaan eksisting jika melakukan proses peningkatan nilai tambah pada produk mentahnya, seperti melakukan pengolahan hasil pertanian.

Thailand menjadikan program privatisasi sebagai salah satu bentuk reformasi strukturalnya. Privatisasi BUMN dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan menambah penerimaan pemerintah, sekaligus untuk mengurangi pengeluaran pemerintah. Master plan privatisasi telah membuat garis besar dan komisi provatisasi juga telah bekerja untuk mengatur, menerapkan, dan mengaudit proses penjualan BUMN. BUMN yang akan diprivatisasi antara lain maskapai penerbangan dan perusahaan minyak. Meletakkan program privatisasi kembali pada jalurnya akan mendorong pertumbuhan pasar modal, membantu pembiayaan investasi infrastruktur, dan meningkatkan kepercayaan investor. PMA diharapkan akan datang dalam jumlah yang lebih banyak, dan ini berarti menambah lapangan kerja.

Namun program privatisasi terhambat oleh protes dari serikat buruh yang khawatir akan terjadi gelombang PHK. Lembaga konsumen juga cenderung anti privatisasi karena harga produk-produk dapat menjadi lebih mahal setelah privatisasi walau biasanya menurun terlebih dahulu. Privatisasi juga terganjal oleh belum adanya peraturan atau keputusan penting, seperti berapa penerimaan negara yang wajar dari penjualan suatu BUMN. Rakyat Thailand tentu tidak ingin BUMN yang ada dijual murah kepada pembeli yang biasanya dari luar negeri.

Selama ini tingkat inflasi Thailand dapat dipertahankan menjadi rata-rata satu dijit angka. Tekanan inflasi tahun ini diduga akan berkurang sejalan dengan kebijakan moneter ketat yang akan memperlambat hasrat belanja konsumen, yang mungkin juga terpengaruh oleh ketidak-pastian dalam sektor politik. Kebijakan perdagangan pemerintah Thailand yang utama adalah secara bertahap mengendalikan kenaikan harga 26 barang pokok dan 150 barang dan bahan bangunan yang sebelumnya dikendalikan secara ketat, untuk mengimbangi peningkatan biaya produksi akibat kenaikan harga BBM. Dengan cara demikian, masyarakat tidak mengalami kesulitan memperoleh bahan-bahan pokok dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengkompensasi kenaikan harga-harga akibat pengurangan subsidi BBM, misalnya.

Keterlambatan dalam realisasi APBN dan melunaknya hasrat belanja konsumen merupakan faktor penurun inflasi pada awal-awal tahun anggaran. Sedangkan kenaikan pendapatan petani merupakan faktor sebaliknya. Jika Departemen Perdagangan dapat mengendalikan kenaikan harga barang-barang konsumsi pada bulan-bulan berikutnya, maka tingkat inflasi akan sekitar 3-4% di 2007. Tahun 2006 yang lalu tingkat inflasi adalah 3.5%.[10] Untuk mengendalikan inflasi, BoT mungkin dapat menaikkan tingkat suku bunga beberapa kali dalam setahun sehingga BoT rate mencapai tingkat 4-5.0%[11]. Dengan mengendalikan faktor-faktor utama penyebab kenaikan harga-harga (harga BBM, gaji dan tingkat suku bunga) yang semuanya memberi pengaruh pada biaya produksi, maka inflasi akan terjaga tetap rendah. Konsumsi swasta diharapkan akan meningkat dengan menurunnya tingkat pajak pendapatan pribadi yang diterapkan sejak Agustus 2006.

Ekspor Thailand cukup prospektif sebagai mesin pertumbuhan ekonomi jika harga komoditas di pasar dunia tetap baik dan slowdown dalam perekonomian AS tidak berpengaruh banyak pada ekspor Thailand. Target ekspor Pemerintah Thailand adalah 14%.[12] Jika ekspor tercapai seperti yang ditargetkan maka defisit neracara perdagangan pada tahun 2007 akan sekitar 2% dari PDB. Pertumbuhan PDB tergantung juga pada apakah musim kemarau panjang akan muncul lagi. Namun Departemen Pertanian telah melakukan banyak upaya untuk memperbaiki sistem irigasi, yang diharapkan akan mampu mengatasi kekeringan di pedesaan. Sektor industri diharapkan tumbuh baik pada tingkat 7%, didukung a.l. oleh tingginya pertumbuhan industri permesinan, kendaraan bermotor, dan tekstil.


RESIKO KEGAGALAN
Resiko pertumbuhan ekonomi Thailand datang dari berhasil tidaknya pelaksanaan investasi megaproyek. Walaupun perkiraan pertumbuhan ekonomi Thailand cukup cerah tahun 2007 ini dengan kondisi fiskal yang sehat, pertumbuhan ekspor baik, dan cadangan devisa cukup banyak, namun adanya ketidak-pastian di sektor politik akan mengikis kepercayaan konsumen dan investor dalam dan luar negeri. Kemungkinan ketegangan sosial di Thailand selatan akan memberikan resiko tambahan bagi perkembangan ekonomi Thailand. Mungkinkan Thailand mengikuti jejak Indonesia dalam memecahkan masalah serupa?

Harga minyak yang meningkat dapat menyebabkan masalah baru, sebab ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap harga BBM dunia. Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005[13] adalah langkah untuk mengurangi konsumsi BBM impor. Langkah lain adalah mempromosikan penggunaan bahan bakar nabati (BBN), seperti bio-diesel dan gas-alam untuk kendaraan. Upaya pemerintah dalam hal ini adalah a.l. mengurangi bea cukai atas produksi BBN dan mengkonversi kendaraan dinas dan taksi sehingga dapat menggunakan BBN.[14]

Ketidakstabilan sektor politik dapat menyebabkan pelaksanaan pembangunan investasi infrastruktur juga mundur dari jadual yang ditetapkan. Ditambah dengan kemungkinan harga minyak dunia yang tinggi, maka pertumbuhan jangka pendek mungkin akan tidak sebesar yang diharapkan. Jika ini terjadi maka akan ada keterlambatan dalam pemanfaatan dana 42 miliar USD untuk infrastruktur megaproyek. Sifat pemerintahan sementara saat ini juga dikhawatirkan menyulitkan pengambilan keputusan strategis yang mempengaruhi realisasi APBN, implementasi kebijakan dan program, dan penundaan proyek infrastruktur lain, seperti 3 jalur subway di Bangkok yang telah menyebabkan dana sekitar 4.3 miliar USD urung mengalir ke perekonomian Thailand pada waktunya. Investasi megaproyek berpotensi menyumbang 0.5–0.7% pertumbuhan PDB setiap tahun karena ada faktor multiplier effect. Jika investasi ini batal, maka perekonomian akan tumbuh sedang-sedang saja. Kalaupun pemerintahan baru dapat dibentuk, pemerintah diduga masih harus memusatkan perhatian pada pembenahan kembali sendi-sendi pokok kenegaraan seperti amandemen konstitusi dan bukan pada berbagai masalah ekonomi.


KEBIJAKAN DAN PROGRAM TERTENTU
Kemiripan ekonomi Thailand dan Indonesia memungkinkan kebijakan yang sama dapat diterapkan di negara lain dengan modifikasi seperlunya. Beberapa kebijakan dan progran pembangunan ekonomi Thailand yang menarik untuk diamati adalah sbb.

a. FTA dengan Jepang
Untuk meningkatkan ekspor, Thailand menjalin hubungan dagang khusus dengan Jepang melalui kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreement). Segera setelah FTA ditetapkan, sedikitnya 20 perusahaan Jepang, yang mayoritas bergerak di sektor otomotif, merencanakan menanamkan modal baru di Thailand senilai 1,15 miliar USD. Menurut Departemen Promosi Industri Thailand, total modal yang ditanamkan perusahaan-perusahaan tersebut diperkirakan mencapai 40 miliar Baht.[15] Perusahaan asal Jepang merupakan penanam modal terbesar di Thailand, dengan kontribusi mencapai 43% dari total modal asing yang ditanam di negara itu. Saat ini terdapat sekitar 1.300 perusahaan Jepang yang beroperasi di Thailand yang mempekerjakan sedikitnya 50.000 karyawan lokal. Thailand telah menjadi home base bagi banyak perusahaan Jepang untuk melakukan ekspor ke negara-negara lain di samping membidik konsumen lokal. Sebagai contoh, Toyota Motor Thailand Ltd. pada bulan Maret 2007 berhasil menjual 22.813 unit dari total penjualan mobil sebanyak 56.021 unit. Isuzu berada di peringkat kedua dengan angka penjualan 13.922 unit. Produksi mobil ini melampaui produksi mobil di Indonesia. Lihat Tabel 2.

Tabel 2. Penjualan Mobil baru Thailand dan Indonesia (Unit)
T a h u n
Thailand
Indonesia
Okt-2005
57.399
35.112
Okt-2006
51.390
20.694
Sumber : Pusat Data Bisnis Indonesia, diolah


b. Insentf Investasi
BKPM Thailand telah menawarkan insentif kepada seluruh perusahaan yang ada di Thailand untuk penanaman modal baru. Perusahaan yang berminat mengajukan rencana investasi dan produksi kepada Badan itu. BKPM antara lain telah menyetujui rencana pengembangan mobil hemat bahan bakar. Para pengusaha harus melengkapi rencana pembangunan fasilitas produksi baru termasuk rencana memproduksi mesin dan komponen untuk mendapatkan insentif. Pengusaha juga harus membuat paling sedikit 100.000 unit mobil dalam lima tahun operasi, dan mobil yang dihasilkan harus bisa dikendarai sejauh lebih dari 20 kilometer dengan satu liter bensin saja. BKPM sebelumnya sudah mengurangi pajak impor untuk meningkatkan daya tarik investasi untuk membangun pabrik otomotif di Thailand.

c. Dukungan untuk UKM
Pemerintah Thailand mendorong UKM dengan berbagai cara yang efektif. Salah satunya adalah dengan melakukan pameran dagang di berbagai negara. Sejumlah 46 perusahaan meramaikan Thailand Exhibition 2007 pada bulan Maret 2007 di Jakarta. Pameran ini diselenggarakan oleh Office of Commercial Affairs Kedubes Thailand di Jakarta mewakili Department of Export Promotion, Departemen Perdagangan Thailand. Produk yang ditampilkan pada pameran meliputi makanan dan minuman, garmen dan tekstil, aksesori, produk kesehatan dan kecantikan serta pariwisata. Mereka juga menampilkan berbagai varietas buah segar, seperti kelengkeng, rambutan, mangga hijau, mangga kuning, buah pum, apel merah mawar dan tamarin manis. Pameran dagang ini merupakan bagian penting dari program One Tampon One Product.

Pemerintah Thailand juga mendirikan BUMN nirlaba Allied Retail Trade Co.[16] untuk melakukan pembelian barang dari pabrik kemudian menyalurkannya ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya. Perbankan Thailand, tidak hanya bank-bank BUMN, mendorong pergerakan sektor riel dengan memberi kemudahan kredit bagi pengusaha toko tradisional yang memodernisasi toko masing-masing, yang dengan demikian mempunyai prospek baik untuk mengembalikan poinjaman. Toko-toko tradisional juga diberikan keringanan pajak apabila masuk ke dalam jaringan suplai barang BUMN nirlaba tersebut.

d. Penataan Zona Perdagangan Eceran
Seperti halnya Indonesia, di Thailand jumlah peritel dalam berbagai jenis berkembang pesat sejak ekonomi pulih dari krisis moneter. Sebagian besar peritel di Thailand adalah toko tradisional dan sebagian kecil (dari segi jumlah) adalah convenient store. Supermarket pernah hampir mencapai 500 toko, tetapi kemudian berkurang menjadi 438 toko (2005), sedang hipermarket tumbuh konstan mencapai 29 unit (2005). Lihat Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Peritel di Thailand (unit)
Keterangan
2003
2004
2005
Toko tradisional
273.314
278.278
282.705
Convenience store*
3.861
3.988
5.026
Supermarket
499
474
438
Hipermarket
107
120
135
Pusat perkulakan
23
29
29
Sumber : AC Nielsen, 2006

Pemerintah Thailand sangat serius menangani masalah ritel dan memberlakukan undang-undang ritel Royal Decree for Retail Act yang berisi aturan zona, jam buka, harga barang, dan jenis ritel. Dengan adanya UU tersebut maka Pemkot Bangkok Metropolitan menetapkan zona-zona perdagangan eceran. Misalnya zona barat daya, zona tenggara, dan zona timur laut ditetapkan, kemudian dengan menarik garis vertikal dan horizontal ditentukanlah zona satu, dua, tiga, empat dan lima. Setiap zona diperuntukkan bagi ritel kelompok tertentu agar tidak terjadi ketimpangan persaingan usaha, yang berakibat sekelompok pedagang ritel menurun omzetnya karena keberadaan ritel jenis lain didekatnya, seperti yang terjadi di Jakarta. Persisnya, UU Ritel itu mengatur penerapan zona atau tempat usaha satu jenis ritel, seperti hipermarket berada pada zona empat atau lima, sedangkan zona satu hingga tiga hanya diperuntukkan untuk warung tradisional, grosir dan supermarket. Aturan zona juga melarang pusat perbelanjaan atau toko berskala besar pada daerah padat arus lalu lintas.


PENUTUP
Thailand dikenal sebagai negara tujuan investasi yang menarik dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun pandangan kestabilan politik di Thailand yang mendukung masuknya modal asing telah memudar menyusul terjadinya gejolak politik pada tahun 2006. Reputasinya sebagai negara tujuan investasi mengalami kemunduran. Thailand saat ini membutuhkan langkah yang tepat untuk memulihkan iklim investasinya yang memburuk. Membangkitkan kepercayaan investor agar kembali menanamkan modalnya diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Pemerintah Thailand menawarkan berbagai insentif kepada perusahaan domestik dan asing yang berniat menambah modal.

Thailand mengandalkan ekspor komponen elektronik/komputer/mobil dan produk-produk pertanian lainnya, di samping pariwisata, untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Utang pemerintah dijaga tidak melebihi 50% PDB dan pembayaran utang dipertahankan rendah agar ada ruang untuk membiayai pembangunan.

Kebijakan dan program pembangunan prasarana, sektor pertanian, peningkatan ekspor, upaya mendorong UKM dan dukungan pada ritel lokal patut mendapat perhatian bagi pembuat kebijakan ekonomi Indonesia dalam rangka membangkitkan sektor riil yang saat ini stagnan.

--o0o--



Penulis adalah Ahli Perencana Madya pada Kedeputian Ekonomi Bappenas.
[1] Sebaliknya, saat itu ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan negatif, yaitu sebesar minus 2%, yang lebih baik dari minus 23% pada tahun 2001.
[2] Indonesia pada tahun 2006 juga telah melunasi utangnya kepada IMF, yang nilainya lebih besar dari utang Thailand kepada IMF.
[3] Indonesia saat itu tidak dapat melakukan kebijakan anggaran yang ekspansif karena inflasi masih tinggi. Defisit yang besar akan mendorong inflasi lebih tinggi lagi, sedangkan inflasi menyulitkan kehidupan sebagian besar masyarakat karena menyebabkan daya belinya berkurang. Di sisi lain, utang Indonesia sudah hampir 100% dari total PDB. Dengan kondisi itu, maka pemerintah harus mengutamakan kebijakan anggaran yang hati-hati. Jika menjalankan anggaran ekspansif, maka utang akan meningkat, karena anggaran defisit harus ditutup dari utang.
[4] Sebaliknya, Indonesia mengalami aliran FDI keluar dalam jumlah yang hampir sama, yaitu tiga miliar USD. Kemungkinan besar hal ini terkait dengan situasi politik yang menimbulkan tingginya ketidakpastian berusaha di Indonesia saat itu.
[5] Semula negara yang diduga akan segera mengalami pergantian pemerintahan adalah Filipina yang sepanjang tahun 2006 itu mengalami beberapa kali percobaan kudeta terhadap Presiden Macapagal Arroyo. Ternyata Arroyo tetap memerintah sedangkan Thaksin mundur.

[6] Rupiah, misalnya, dalam periode yang sama hanya mengalami penguatan sebesar 1,7% terhadap Dolar AS.
[7] Termasuk Indonesia yang mengalami koreksi atas Rupiah sebesar 0,9%.
[8] Price earnings ratio saham-saham Indonesia, misalnya, menjadi lebih atraktif dengan tidak diterapkannya capital control. Indonesia menjadi berpeluang menerima dana limpahan dari fund hedgers yang meninggalkan Thailand.
[9] Analisis ini didasarkan pada ADB, Asian Development Outlook 2007 Update.
[10] Jauh lebih rendah dari inflasi di Indonesia yang ditargetkan sebesar 6% pada tahun 2007.
[11] Cukup rendah dibanding BI rate yang sebesar 8-9% saat ini.
[12] Sebagai perbandingan, harapan pertumbuhan ekspor Indonesia adalah sebesar 20% (2007).
[13] Di Indonesia hal ini dilakukan pada bulan Oktober 2005.
[14] Kebijakan ini mungkin baik juga diberlakukan di Indonesia.
[15] Upaya Indonesia dan Jepang membentuk FTA terkendala oleh peraturan pelaksanaan UU Penanaman Modal yang masih belum selesai.
[16] Dengan modal kerja ”hanya” sekitar Rp. 80 miliar (9,1 juta USD).