Tuesday 18 September 2007

Kemitraan Pemerintah – Swasta Dalam Pembangunan Infrastruktur




I. PENDAHULUAN
Kemitraan merupakan pelibatan swasta oleh pemerintah untuk menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat seperti infrastruktur, fasilitas sosial, pelayanan umum di bidang tertentu, dll. Untuk penyediaan barang publik itu pemerintah tidak selalu mampu menyediakannya sendiri, maka diperlukan peran swasta untuk mendukung pemerintah melaksanakan kewajiban publiknya. Dalam penyelenggaraan Infrastructure Summit tahun 2006, kemitraan dengan swasta dalam pengadaan infrastruktur merupakan tujuan utama.
Makalah ini membahas kemitraan pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Setelah menguraikan prinsip-prinsip kemitraan pemerintah dan swasta, pembahasan dilanjutkan dengan perkembangan kemitraan pemerintah – swasta, masalah risiko dan penjaminan proyek-proyek infrastruktur, perencanaan program kemitraan pemerintah – swasta, dan arahan pelaksanaan program kemitraan pemerintah – swasta.

II. KERANGKA TEORITIS KEMITRAAN PEMERINTAH – SWASTA
Partisipasi mitra swasta sangat diharapkan oleh pemerintah karena untuk membiayai pembangunan infrastruktur nasional yang mencapai 145 miliar dolar AS, hanya 17 persen yang sanggup dibiayai oleh pemerintah melalui APBN dan APBD. Dana APBN dan APBD yang dialokasikan untuk pembenahan infrastruktur telah banyak namun kebutuhan dana masih besar karena wilayah yang sangat luas.
Jika kebutuhan infrastruktur di semua daerah dilayani serempak, maka akan dibutuhkan dana puluhan triliun rupiah. Sedangkan pemerintah memiliki dana yang sangat terbatas. Dalam keterbatasan tersebut, pemerintah harus membiayai juga sektor lain yang juga sangat vital, seperti pendidikan dan kesehatan. Untuk tahun 2007, anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan yang dialokasikan dalam APBN hanya Rp 9,8 triliun. Penyediaan dana itu hanya sedikit dapat mengurangi jalan yang rusak berat. Kemitraan dengan swasta diharapkan menjadi solusi masalah ini.
Kekurangan infrastruktur diatasi dengaan mengundang investor asing menanamkan modalnya. Investor asing akan bersedia menanamkan modalnya jika tidak ada hambatan untuk mengimplementasikannya. Untuk itu pemerintah perlu menjamin bahwa proyek infrastruktur yang ditawarkan siap untuk direalisasikan. Pemerintah perlu memberikan informasi mutakhir yang diperlukan calon investor, seperti daftar proyek siap, peraturan dan jaminan hukum, ketentuan menyangkut kepastian usaha, perpajakan, perburuhan, dan lain-lain.
Dalam kemitraan antara pemerintah dan swasta, manfaat bagi kedua pihak yang diharapkan adalah:
· Penghematan biaya, melalui penyatuan jasa-jasa pelayanan
· Berbagi risiko, swasta ikut menanggung risiko
· Peningkatan standar pelayanan, melalui inovasi
· Peningkatan pendapatan, dari penyediaan jasa layanan baru
· Pelayanan yang lebih efisien, dalam hal waktu dan atau biaya
· Manfaat ekonomi, dalam hal penyerapan tenaga kerja, dll.

III. PERKEMBANGAN KEMITRAAN PEMERINTAH – SWASTA
Percepatan pembangunan infrastruktur dengan memperbesar peran swasta dan investor asing hingga saat ini masih belum terlaksana dengan baik. Proyek pembangkitan tenaga listrik 10.000 MW masih kesulitan dijual kepada investor asing maupun lokal karena tidak adanya jaminan seperti yang diharapkan calon investor. Belum adanya kepastian jaminan pemerintah ketika harga pembebasan lahan melonjak atau jika proyek tertunda karena berlarutnya pembebasan lahan merupakan persoalan jalan tol yang belum terselesaikan.
Infrastruktur di sektor lain juga masih tersendat. Belum adanya undang-undang pelayaran, perkeretaapian, penerbangan, dan lalu lintas angkutan jalan yang memasukkan klausul kemitraan menjadi hambatan kemitraan. Hal itu karena dalam kebijakan undang-undang yang ada, ada ketentuan bahwa pihak yang melaksanakan proyek adalah badan usaha yang ditunjuk pemerintah, seperti PT Kereta Api Indonesia, Pelindo di sektor laut, dan Angkasa Pura di sektor bandara. Peraturan ini masih belum dicabut sehingga mengkhawatirkan investor.
Beberapa pola kemitraan yang telah dijalin tidak seluruhnya memberikan hasil seperti yang diharapkan, misalnya kemitraan dalam pengelolaan sampah, tempat pelelangan ikan, pemotongan hewan, dll. Bentuk-bentuk kemitraan ini perlu dikaji untuk dapat merumuskan pegangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam melakukan kerjasama dengan swasta.

IV. PENJAMINAN PROYEK INFRASTRUKTUR
Proyek infrastruktur memiliki cakupan risiko yang sangat luas. Dalam konteks proyek pengusahaan jalan tol, misalnya, harga lahan yang jauh di atas perkiraan dan proses yang panjang merupakan bentuk ketidakpastian nilai dan waktu pada proyek tersebut. Akibatnya, biaya yang dibutuhkan membengkak, yang menyebabkan proyek tidak feasible sehingga kurang menarik minat swasta. Masalah traffic atas ruas tol yang ditawarkan juga dapat menjadi isu yang dapat memengaruhi keputusan investor untuk masuk.
Pada dasarnya terdapat dua tipe ruas jalan tol. Pertama, yang layak secara finansial dalam arti menjanjikan keuntungan bagi pengelolanya. Tipe ini biasanya berada di wilayah yang aktivitas ekonominya telah berkembang pesat. Kedua, tipe jalan tol yang layak secara ekonomis yang ditujukan untuk pengembangan wilayah/daerah. Traffic pada ruas jalan tol tipe pertama dapat terpenuhi dan lebih diminati oleh investor.
Masalah lainnya adalah belum jelasnya blue print sistem jaringan jalan tol nasional serta konsistensi dalam implementasinya. Jika suatu wilayah sudah ditetapkan pemerintah pusat sebagai bagian ruas jalan tol, maka semestinya sejak saat itu tidak boleh ada transaksi di atas lahan tersebut. Pemerintah daerah harus memasukkan ruas tersebut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Pada kenyataannya masih dijumpai terjadi pengalihan hak kepemilikan lahan maupun pendirian berbagai bentuk bangunan di atas lahan yang telah ditetapkan sebagai ruas jalan tol.
Berbagai masalah ini dapat mengakibatkan keengganan para investor untuk terlibat dalam proyek infrastruktur. Karena itu para investor meminta berbagai macam jaminan pemerintah seperti finansial, comfort letter, atau government guarantee karena terkait dengan kepentingan lenders guna keamanan dan kepastian pengembalian atas dana yang telah diinvestasikan pada proyek infrastruktur.
Jaminan pemerintah atas risiko proyek infrastruktur diatur dalam Perpres No. 67/2005 serta Permenkeu No. 38/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur. Jaminan ini bersifat risk sharing yang hanya diberikan pada proyek kerjasama antara pemerintah dan BUMN, BUMD maupun koperasi. Risiko yang dijamin oleh pemerintah mencakup risiko politik, risiko kinerja proyek, dan risiko permintaan. Risiko politik terkait dengan perubahan regulasi yang berdampak merugikan proyek infrastruktur. Risiko kinerja proyek terjadi, misalnya jika harga lahan lebih tinggi dari harga kontrak maka selisihnya akan ditanggung oleh pemerintah dalam persentase yang disepakati. Sedangkan risiko permintaan terjadi jika penerimaan atas pengelolaan infrastruktur lebih rendah dari rencana bisnis.
Dikaitkan dengan permasalahan infrastruktur, terdapat beberapa risiko yang dapat dicakup Permenkeu No. 38/2006 itu. Masalah lahan, misalnya, pemerintah akan menanggung sebagian kelebihan harga lahan. Permenkeu No. 38/2006 tidak otomatis menyelesaikan masalah lahan, mengingat ketidakpastian terbesar soal lahan berada pada proses pembebasannya, seperti yang dijumpai pada proyek Jakarta Outer Ring Road yang mundur karena terhambat masalah pembebasan lahan.
Jaminan pemerintah diwujudkan dalam Dana Pembangunan Infrastruktur dan pengalokasian pembiayaan sebesar Rp2 triliun dalam APBN 2007. Dana ini di samping untuk alokasi investasi proyek infrastruktur pemerintah juga dimaksudkan untuk pembagian risiko dengan investor swasta. Banyaknya permintaan jaminan pemerintah oleh para investor atas proyek infrastruktur menyiratkan bahwa risiko proyek infrastruktur tersebut masih tinggi. Di sisi yang lain tidak semua risiko dapat dijamin oleh pemerintah karena keterbatasan anggaran.
Proyek infrastruktur mengandung risiko yang besar, antara lain:
· Berkurangnya kontrol pemerintah, karena kewenangan yang diberikan ke swasta
· Standar akuntabilitas publik menjadi kurang jelas, karena sebagian ditanggung swasta
· Pelayanan yang tidak memuaskan, bila kualitas mitra swasta tidak baik
· Peningkatan biaya pelayanan, bila kebijakan tarif lemah
· Risiko politik, protes masyarakat yang tidak terbiasa menerima pelayanan publik oleh swasta
· Bias dalam seleksi mitra swasta, terkait proses tender dan kompetisi antarpihak swasta.Penolakan pegawai negeri, yang merasa terancam posisinya

Semua risiko itu harus dipertimbangkan dalam menjalin kerjasma dengan investor. Agar terdapat kepastian masalah lahan, misalnya, maka pemerintah perlu membebaskan lahan terlebih dahulu melalui BPN. Setelah selesai pembebasan lahan, investor mengganti biaya pembebasan lahan itu kepada pemerintah. Untuk itu perlu dibentuk Land Revolving Fund, atau dana bergulir untuk pengadaan lahan. Dengan pola ini maka salah satu risiko dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur dapat ditiadakan.

V. PROGRAM KEMITRAAN PEMERINTAH – SWASTA
Pemerintah perlu memberikan insentif untuk memastikan semua proyek layak dibiayai perbankan. Kalau ada yang tidak layak dibiayai bank (bankable) tetapi dibutuhkan masyarakat, maka perlu ada insentif sehingga layak dilakukan dari sudut pandang swasta. Insentif yang diberikan pemerintah dapat berupa dukungan finansial dan nonfinansial. Insentif lain yang juga penting adalah kepastian hukum dan kejelasan regulasi yang kondusif.
Pemerintah bersama DPR perlu segera mengesahkan paket Rancangan Undang-Undang bidang transportasi. Paket RUU bidang transportasi terdiri dari RUU Perkeretaapian, RUU Penerbangan, RUU Pelayaran dan RUU Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Pemerintah juga perlu melakukan pembenahan regulasi untuk memperjelas fungsi dan kewenangan regulator dan pelaku operasi. Pembenahan itu dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, peraturan pemerintah tentang pengadaan lahan bagi proyek-proyek untuk kepentingan umum, peluncuran paket kebijakan perbaikan iklim investasi, serta percepatan pembangunan infrastruktur.

VI. PELAKSANAAN PROGRAM KEMITRAAN PEMERINTAH – SWASTA
Dengan mempertimbangkan berbagai manfaat dan risiko suatu kemitraan, pemerintah perlu melakukan beberapa tahap sebelum menjalin kemitraan dengan swasta.
Pertama, penentuan jenis pelayanan/proyek yang akan dilaksanakan melalui kemitraan, dengan mengacu beberapa kriteria seperti pendanaan, efisiensi, dll.
Kedua, persiapan ketentuan kemitraan, termasuk di dalamnya pembentukan tim manajemen, cara seleksi mitra swasta, kriteria evaluasi, dan strategi komunikasi publik.
Ketiga, seleksi calon mitra swasta melalui penilaian proposal yang diajukan.
Keempat, negosiasi hal-hal teknis soal pembayaran, dll. yang diakhiri dengan penandatanganan kontrak.
Selanjutnya ketika kemitraan dilaksanakan, pemerintah perlu melakukan monitoring agar pelaksanaan kemitraan sesuai dengan rencana semula.
Pada tahap akhir, evaluasi kemitraan perlu dilakukan untuk merumuskan hal-hal yang perlu dibenahi dalam kemitraan berikutnya.

VII. KESIMPULAN
Kekurangan infrastruktur yang sangat mendesak saat ini dapat diatasi dengaan mengundang investor asing menanamkan modalnya. Investor asing akan bersedia menanamkan modalnya jika tidak ada hambatan untuk mengimplementasikannya. Untuk itu model partisipasi dengan mitra swasta sangat diharapkan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur nasional.
Dalam mendorong terjadinya kemitraan dengan swasta, pemerintah perlu menginformasikan lengkap tentang proyek yang ditawarkan dengan memberikan dokumen detail setiap proyek, antara lain, meliputi rencana pembiayaan, agenda realisasi, dokumen tender, dan kejelasan peran pemerintah.
Proyek infrastruktur memiliki cakupan risiko yang sangat luas. Semua risiko itu harus dipertimbangkan dalam menjalin kerjasma dengan investor. Dalam jangka menengah pemerintah perlu menyusun peraturan yang lebih rinci mengenai pembagian risiko dan pemberian jaminan yang riil. Dengan menyediakan landasan peraturan dan mekanisme yang rinci ini maka berbagai proyek infrastruktur dapat ditawarkan kepada swasta.
--o0o--

DAFTAR PUSTAKA
Bambang Bintoro Soedjito, Peran Swasta dalam Pengembangan Infrastruktur: Kerangka Kebijakan, Pengaturan dan Kelembagaan, dalam Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005
Departemen Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005
Kotler, Philip et.al; Pemasaran Keunggulan Bangsa (The Marketing of Nations), 1997
Suyono Dikun, Pengembangan dan Pengelolan Infrastruktur, dalam Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005

No comments:

Post a Comment