Monday 17 September 2007

Keajaiban Ekonomi Tiongkok dan Dampaknya Pada Perekonomian Indonesia

Oleh Herry Darwanto*

Pendahuluan
Pada tahun 1970-an dan 1980-an Tiongkok (China) nyaris tidak terdengar. Saat itu yang menjadi negara selebritis adalah Jepang, 4 Naga Kecil Asia (Hongkong, Singapura, Taiwan, dan Korea), dan beberapa negara lain termasuk Indonesia. Krisis moneter 1997 membalikkan keadaan, Indonesia menjadi terpuruk, sedangkan Tiongkok tetap dan semakin maju. Kini Tiongkok hampir sekelas dengan Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Tiongkok melejit dengan strategi keterbukaan perdagangan dan investasi, dan industrialisasi berkembang pesat terutama di kota-kota di pantai timur Tiongkok. Deng Xiaoping adalah bapak pembangunannya.

Keajaiban Ekonomi
Selama bertahun-tahun, Tiongkok mengalami “keajaiban” ekonomi, yaitu tumbuh dengan angka dua dijit. Pertumbuhan ekonomi unggul ini menghasilkan kekayaan nasional yang besar, pendapatan per kapita meningkat, devisa negara mendekati satu triliun dolar AS. Kelompok wiraswasta dan pengusaha terus membesar. Wujud fisik kota-kota Tiongkok tidak berbeda dengan kota—kota di negara maju, dan itu dicapai hanya dalam hitungan tidak lebih dari 30 tahunan.

* Penulis adalah staf perencana Bappenas.

Guna memacu pertumbuhan industrinya Tiongkok memerlukan bahan mentah dan bahan bakar. Untuk itu Tiongkok dengan cerdas membelinya dari negara-negara lain (dengan sangat menghemat SDAnya sendiri) lalu mengolahnya menjadi bahan jadi yang kembali diekspor ke seluruh dunia. Tiongkok mengantongi nilai tambah yang bermiliar-miliar dolar. Tiongkok di pihak lain mempunyai daya serap pasar yang besar karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi terus menerus. Dengan volume impor 500 miliar dolar AS per tahun, Tiongkok menjadi pasar ekspor terbesar ketiga di dunia. Dalam peringkat perdagangan dunia Tiongkok berada pada peringkat ke empat, dengan peran yang membesar dari satu persen (1980) menjadi hampir tujuh persen (2005), dan angka ini tengah melaju kencang. Dengan kinerja pertumbuhan tersebut, maka Tiongkok muncul sebagai raksasa ekonomi dunia. Pengaruh Tiongkok pada ekonomi global akan segera menjadi sangat signifikan.

Masalah Domestik
Namun kemajuan ekonomi Tiongkok bukan tanpa masalah. Proses pembangunan negara ini telah menimbulkan kesenjangan antara kelompok/daerah kaya dengan kelompok/daerah miskin. Sekitar 800 juta dari 1,3 miliar penduduk Tiongkok masih dalam keadaan miskin. Meskipun jumlah pekerja migran ke kota-kota besar semakin bertambah dalam beberapa tahun terakhir ini, tetapi sebagian besar penduduk Tiongkok masih tinggal di desa-desa pertanian. Pada tahun 2004, petani Tiongkok memperoleh pendapatan rata-rata sekitar 800 yuan. Pendapatan ini tidak seimbang dengan biaya diluar keperluan pokok. Biaya empat tahun pendidikan di universitas adalah 30.000 yuan. Ini setara dengan hasil bekerja selama hampir 40 tahun. Seorang anak petani Tiongkok oleh karena itu akan sulit menikmati bangku kuliah di perguruan tinggi. Beban hidup lain adalah tingginya biaya kesehatan. Di pelosok pedesaan, untuk dapat membayar ongkos ambulan ke rumah sakit, seorang petani harus mengorbankan seekor babinya untuk dijual. Biaya perawatan di rumah sakit adalah beban berat bagi kebanyakan penduduk, karena bisa setara dengan pendapatan setahun mereka. Obat tradisional Tiongkok kian menjadi altematif bagi obat modern. Petani di pelosok pedesaan Tiongkok inilah kelompok masyarakat yang tertinggal di tengah laju ekonomi negara ini yang gegap gempita.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga membagi wilayah Tiongkok menjadi bagaikan siang dengan malam. Wilayah timur dan tenggara lebih maju sedangkan wilayah barat dan utara lebih terbelakang. Ketimpangan antar daerah dan kelompok itu telah menimbulkan frustrasi sosial, yang diekspresikan dalam berbagai aksi protes dan berdampak pada angka kriminalitas yang tinggi di kota-kota besar. Tidak heran bahwa sejak belum lama ini para turis asing di ShenZhen misalnya diingatkan oleh pemandu wisata untuk berhati-hati terhadap pencopet, sesuatu yang tidak biasa pada beberapa puluh tahun yang lalu. Masalah-masalah tersebut mirip dengan yang dijumpai di negara-negara berkembang lain, seperti Indonesia. Tetapi Tiongkok tetap berbeda dari kebanyakan negara berkembang, baik di Asia, Afrika, maupun Amreika Latin.

Upaya Pemerintah
Menghadapi masalah sosial itu, pemerintah Tiongkok bukan tidak mengerti dan hanya berpangku tangan. Mereka telah melakukan berbagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan mengembangkan daerah tertinggalnya. Pemerintah mengalokasikan dana pembangunan untuk pembangunan pedesaan dalam jumlah yang semakin besar. Anggaran tahun ini misalnya, lebih besar 15 persen dibandingkan anggaran tahun sebelumnya sehingga total menjadi 41,9 miliar dolar AS dari 274 miliar dolar APBN 2006. Otomatis alokasi untuk keperluan lainnya menurun. Jumlah itupun masih belum memadai sehingga pemerintah Tiongkok mengusulkan dalam sidang tahunan Kongres Rakyat yang menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ke-11 untuk menambahnya. Repelita ke-11 ini difokuskan pada peningkatan kemajuan pedesaan. Dengan mesin birokrasi yang efisien, maka dapat diperkirakan bahwa, tanpa ada perubahan besar dalam perkembangan ekonomi makro dan mikro, perkembangan pesat akan terjadi di daerah pedesaan dalam tahun-tahun mendatang.
Dengan komitmen ini dapat dibayangkan bahwa Tiongkok akan benar-benar seperti AS jika telah memakmurkan seluruh/sebagian besar daerahnya, apalagi jika proses demokratisasi politik dan desentralisasi dapat direncanakan agar berjalan mulus. Tiongkok akan semakin produktif dan menjadi raksasa ekonomi dunia dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Dampak Bagi Negara Lain
Selama bertahun-tahun Tiongkok telah menggelontor dunia dengan produk murah. Ini memberi implikasi pada perekonomian negara lain. Bagi produsen, persaingan dengan Tiongkok telah menyebabkan berkurangnya keuntungan para produsen di negara lain karena harus menurunkan harga jual untuk mengimbangi harga murah produk Tiongkok. Para produsen dan eksportir tekstil dari Indonesia dan Banglades, misalnya, yang pada tahun 1970-an pernah meraih keuntungan besar, kini terpuruk. Banyak pengusaha garmen di Majalaya, misalanya, yang pada mulanya berkembang baik, kemudian mengalami kejayaan sejalan dengan pintu ekspor yang terbuka dari negara-negara maju, lalu menjadi kurang produktif ketika Tiongkok ikut mengekspor garmen ke negara-negara maju yang menjadi pasar ekspor negara berkembang. Tiongkok malah kemudian berhasil mengekspor garmennya ke negara-negara yang semula mengekspor garmen, seperti Indonesia. Alhasil produksi lokal menurun, dan banyak usaha harus menutup usahanya, termasuk yang berada di Majalaya. Produk sepatu Tiongkok juga turut menyebabkan Cibaduyut kehilangan pamornya sebagai pusat produksi sepatu di Jawa Barat. Hal yang sama dijumpai untuk produksi mebel, mainan anak, elektronika, dll.
Bagi konsumen, banjir produk murah Tiongkok jelas menguntungkan konsumen, karena bagi konsumen yang sebagian besar berpendapatan rendah, harga lebih diperhatikan, bukan kualitas atau asal barang. Akibatnya, barang-barang Tiongkok masuk ke jutaan rumah-rumah Indonesia, mula-mula mainan anak-anak kemudian meluas sampai peralatan elektronik dan mobil. Mesin-mesin buatan Tiongkok, bahkan alat pembangkit tenaga listrik, juga gencar memasuki pabrik-pabrik Indonesia. Bagi konsumen pada umumnya, barang-barang dari Tiongkok membuat kesenangan tersendiri karena selama ini barang-barang sejenis tidak mampu dibeli. Masyarakat berdaya beli rendah sangat gembira mendapat kesempatan membeli baju bagus bekas dengan harga murah, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelum era Tiongkok tiba.
Bagi investor, peningkatan investasi asing di Tiongkok cenderung menyedot investasi asing di negara lain. Tahun lalu, Tiongkok menampung 10 persen investasi dunia. Ini berarti negara lain berkurang peluangnya nntuk menerima investasi dari luar, yang berpotensi pada kemajuan ekonomi yang lebih kecil daripada kalau hal itu tidak terjadi. Namun, di pihak lain Tiongkok juga mulai investasi di luar negeri meskipun masih relatif kecil, yaitu sekitar tiga miliar dolar AS per tahun. Diantara tujuan FDI Tiongkok adalah ke Indonesia, antara lain direncanakan untuk membangun infrastruktur.
Bagi pemerintah. Banyak pemerintah mendapat keuntungan dengan kemajuan ekonomi Tiongkok yang pesat. Pemerintah Indonesia, misalnya, menerima pendapatan dari pajak ekspor gas dan minyak Tiongkok. Namun, pemerintah juga mendapat banyak kerepotan akibat dari ekspansi dagang Tiongkok yang agresif. Untuk menghadapi Tiongkok tersebut, hambatan perdagangan dikenakan oleh berbagai negara terhadap Tiongkok, seperti property rights, proteksi, non-tariff barrier, dll. Ini karena banyak kasus perdagangan yang tidak fair. Misalnya, setelah kesepakatan tekstil global berakhir (Multi-Fibre Agreement), AS dan UE mulai membatasi impor beberapa produk Tiongkok. Jutaan garmen Tiongkok tertimbun di beberapa pelabuhan Eropa, sebagian belok ke negara lain, yang konon setelah mendapat surat kuota palsu, pergi lagi ke AS untuk dijual dengan cap negara itu. Masalah-masalah ini menjadi perbincangan sengit antara suatu negara atau kelompok negara dengan Tiongkok. Tiongkok dengan negara-negara lain memang saling mengintai dan mencari peluang untuk memenetrasi sasaran pasarnya masing-masing. Itu dilakukan untuk mengambil peluang-peluang pasar di masing-masing negara tersebut.

Menghadapi Tiongkok
Bagaimana menghadapi kemajuan ekonomi Tiongkok? Sebagai negara yang berhubungan aktif dengan Tiongkok, Indonesia perlu melakukannya dengan berhati-hati khususnya dalam menghadapi serbuan ekspor produk murah Tiongkok. Indonesia tetap harus meletakkan posisi Tiongkok sebagai mitra strategis, menghadapinya secara terbnka, tidak menutup diri, atau menghindar. Indonesia harus mempererat hubungan dagang dengan Tiongkok secara berhati-hati.
Sampai dengan sepuluh tahunan yang lalu Tiongkok dan Indonesia dalam banyak hal merupakan sesama negara berkembang yang bersaing ketat. Keduanya sama-sama negara yang mempunyai SDA dan SDM yang banyak. Tiongkok memiliki banyak mineral dan tambang, demikian juga Indonesia. Industri kedua negara menghasilkan jenis produk yang relatif sama kecanggihannya. Produk kedua negara bersifat substitusi, memperebutkan pasar ekspor yang sama. Hubungan dagang antara Indonesia dan Tiongkok diwarnai persaingan di arena internasional yang kemudian beralih ke arena domestik. Produk Tiongkok dan produk Indonesia kemudian sama-sama memperebutkan konsumen kelas menengah bawah, namun di pasar Indonesia.
Hubungan dagang antara Indonesia dan Tiongkok seperti itu berbeda sama sekali dengan hubungan Indonesia dan Jepang, yang bersifat komplementer. Jepang menjadi lokomotif Asia sejak tiga dekade yang lampau dan menampilkan diri sebagai negara maju dengan teknologi tingginya. Jepang merelokasikan industri yang sudah tidak mengutungkan lagi jika dilakukan di negaranya. Sebaliknya, negara-negara lain seperti Indonesia menerima limpahan industri dengan senang hati karena membuka lapangan kerja, teknologi dan manajemen serta devisa. Sebagian industri limpahan ini menampilkan diri sebagai industri lokal yang maju dan mengekpor produknya ke negara lain. Mobil Kijang buatan Toyota di Indonesia, misalnya, telah diekspor ke beberapa negara Asia, seperti halnya Proton dari Malaysia. Jepang telah ikut mendorong ekonomi Indonesia sejak 30 tahun yang lalu. Di pihak lain, ekspansi produk ekspor Tiongkok ke Indonesia yang semula komplementer kemudian saling mensubstitusi, dan akhirnya mematikan industri-industri yang ada.
Tiongkok juga menyedot investasi asing dari Indonesia karena prospek dan iklim usaha yang lebih baik di Tiongkok. Namun Indonesia juga mendapat keuntungan dari investasi Tiongkok di sini, yang investor asing lain agak enggan melakukannya, sementara Indonesia sangat memerlukannya untuk menampung 11 juta lebih penganggnr. Jadi Tiongkok selain menghancurkan sebagian industri lokal juga merupakan negara mitra dalam membangun Indonesia.

Penutup
Tiongkok menunjukkan kemajuan ekonomi yang pesat yang akan dan telah membuat Tiongkok menjadi negara besar. Bagi negara-negara lain, kemajuan ekonomi Tiongkok lebih menakutkan daripada menggembirakan. Ini karena Tiongkok menggeleparkan banyak industri lokal dengan ekspor produknya yang murah meriah. Hal ini membawa persoalan yang harus dihadapi pemerintah dan bangsa Indonesia. Tanpa ada pembenahan yang serius Indonesia akan terus menjadi konsumen bagi produk Tiongkok.
Pemerintah Indonesia seharusnya tidak berdiam diri menghadapi hal ini. Pemerintah harus membuat langkah-langkah yang terencana agar bangsa dan negara ini dapat tetap hidup dan disegani bangsa-bangsa lain dengan cara meningkatkan produktivitasnya.

--oOo--

No comments:

Post a Comment