Tuesday 18 September 2007

Mensinergikan Kekuatan Dalam Membangun Rumah Sederhana Sehat




PENDAHULUAN
Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam pemenuhan kebutuhan Rumah sederhana Sehat (RSH) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, masih banyak warga masyarakat yang belum memiliki rumah. Untuk itu upaya-upaya yang selama ini telah dilakukan perlu ditata kembali dan disinergikan agar kekurangan kebutuhan rumah itu dapat dengan cepat dipenuhi, sehingga tercapai satu keluarga satu rumah. Untuk itu, kepemimpinan pemerintah menjadi sangat diperlukan.
Makalah ini bertujuan menguraikan upaya-upaya pokok yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak agar tujuan penyediaan rumah bagi setiap keluarga Indonesia itu dapat tercapai.

PERUMUSAN RENCANA TINDAK
Pertamakali yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kantor Menpera, adalah menginventarisasi seluruh masalah terkait dengan industri RSH antara lain pengadaan lahan, proses perizinan, pelaksanaan konstruksi, pemberian bantuan, pemeliharaan lingkungan, dll. Dalam menginventarisasi permasalahan ini pemerintah perlu melibatkan pengembang setempat, pemerintah daerah, tokoh masyarakat, perguruan tinggi lokal, lembaga swadaya masyarakat, dll. Ini perlu dilakukan karena persoalan yang dihadapi dalam pengadaan RSH memiliki perbedaan karakteristik antara satu daerah dan daerah lainnya.
Setelah itu pemerintah perlu mengidentifikasi faktor-faktor penghambat produksi RSH dan bagaimana menyelesaikan masalah yang ada secepatnya melalui terobosan, aturan, atau tindakan nyata di lapangan. Kemudian pemerintah menetapkan target pengadaan RSH untuk dicapai dalam kurun waktu tertentu, misalnya empat atau lima tahun. Target itu harus mensinkronkan target-target dari seluruh daerah, yang dirumuskan oleh pemerintah daerah bersama pengembang dan pihak-pihak terkait lain. Selanjutnya dirumuskan rencana tindak pengadaan RSH sesuai dengan anggaran yang tersedia.
Rencana aksi itu meliputi antara lain kebijakan-kebijakan pendorong, pengawal sekaligus pengendali seluruh rangkaian proses produksi RSH, patokan harga RSH yang berlaku, besaran uang muka konsumen, besaran kredit KPR, jumlah subsidi, biaya perizinan, biaya produksi, biaya pemasaran, serta garis-garis besar langkah yang ditempuh oleh para pelaku pasar (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan asosiasi pengembang) untuk mencapai target rencana yang ditetapkan dan disepakati bersama.
Selanjutnya, pemerintah perlu membuat kerangka evaluasi dan pemantauan untuk mengukur kinerja produksi RSH secara periodik. Hasil evaluasi dan pemantauan atas kinerja produksi RSH ini disosialisasikan kepada pelaku pasar dan publik agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan asosiasi pengembang dapat menyerap masukan dari masyarakat seputar masalah yang menghambat pengadaan RSH.

BEBERAPA SOLUSI STRATEGIS PENGADAAN RSH
Beberapa solusi terhadap masalah yang dijumpai dalam pengadaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah antara lain sebagai berikut.
Pencadangan Lahan untuk RSH
Untuk mendapatkan lahan dengan harga yang terjangkau, pemerintah daerah perlu membebaskan lahan dalam skala luas yang kemudian dapat dijual kepada pengembang sehingga harga jual RSH dapat lebih murah sehingga dapat menjangkau lebih banyak MBR. Untuk itu pemerintah daerah perlu membentuk perusahaan daerah yang dapat bekerja sama dengan swasta untuk pembelian lahan skala besar.
Selanjutnya pemerintah daerah perlu membuat rencana induk pembangunan rumah di wilayahnya. Pemerintah daerah harus menentukan di mana perumahan mewah harus dibangun dan di mana wilayah yang khusus untuk perumahan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, sebagaimana diarahkan oleh rencana tata ruang wilayahnya. Penyediaan lahan khusus ini perlu diikuti dengan pengontrolan harga lahan secara ketat oleh pemerintah daerah, sehingga harga lahan di daerah untuk RSH tidak sama dengan harga lahan untuk rumah mewah.
Selain menyediakan lahan khusus dengan harga yang dikontrol, pemerintah juga perlu mengawasi harga berbagai bahan bangunan. Selain harga lahan, harga bahan bangunan juga terus naik. Kenaikan harga BBM terbukti selalu menaikkan harga berbagai bahan bangunan.
Kontrol terhadap harga lahan dan bahan bangunan diperlukan karena kedua komponen itu langsung mempengaruhi harga jual rumah. Komponen lahan memiliki persentase 30-40% dan bahan bangunan, termasuk tenaga kerja, antara 40%-50%. Sebanyak 10-20% sisanya adalah untuk pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Dalam membangun RSH diperlukan lahan yang luas agar pembangunan infrastruktur dapat dilakukan secara efisien. Selama ini, pengembang membangun permukiman secara sendiri-sendiri dengan luas yang bervariasi dari beberapa hektar sampai ribuan hektar tanpa koordinasi sehingga lokasinya terpencar-pencar. Untuk mengatasi ini sebetulnya sudah ada konsep kawasan siap bangun (Kasiba) yang kemudian dibagi menjadi beberapa lingkungan siap bangun (Lisiba) untuk dijual kepada pengembang.[1] Jika konsep ini dilaksanakan, maka efisiensi dalam pembangunan RSH dapat diterapkan. Pemerintah tidak perlu menyediakan prasarana dasar yang panjang, apakah kabel, pipa air, dsb. Dengan ketiadaan kasiba, ditambah dengan ketidakmampuan pemda membangun infrastruktur, maka pembangunan RSH oleh pengembang terjadi secara sporadis dan mengarah ke pinggir kota. Hal ini memicu inefisiensi perekonomian. Penghuni RSH akan harus melakukan perjalanan jauh untuk menuju tempat kerjanya, banyak diantaranya yang harus menaiki atap gerbong kereta api karena tidak tersedia tempat berdiri di dalam gerbong.
Sekitar 10 tahun yang lalu pernah muncul wacana bahwa Perum Perumnas menjadi pelaksana penyediaan kasiba. Wacana itu perlu dihidupkan kembali. Perumnas diharapkan mampu melaksanakan tugas tersebut dengan menambah kapasitasnya dalam bidang-bidang yang diperlukan. Jika Perumnas memfokuskan kegiatannya pada penyediaan kasiba dan mengurangi kegiatannya sebagai penyedia rumah sederhana hingga rumah menengah seperti yang terjadi saat ini, maka akan banyak manfaat bagi masyarakat dan negara.
Pengurangan Biaya Sertifikasi
Biaya untuk pemecahan sertifikat perlu dikurangi untuk dapat memperingan beban MBR dalam membeli RSH. BPN diharapkan memperluas cakupan program pensertifikatan lahan secara massal untuk pembangunan RSH, sehingga biaya sertifikasi RSH dapat dikurangi secara signifikan, bahkan perlu dihilangkan, sebagaimana yang terjadi pada waktu sebelum krisis moneter.
Menyangkut sertifikasi pertanahan, perlu ada upaya yang nyata. Pada akhir tahun 2005 REI sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Pertanahan Nasional untuk mempercepat proses pembuatan sertifikat. Diharapkan kebijakan ini dapat direalisasi, karena sertifikasi yang cepat akan memperlancar transaksi jual beli rumah dan memberikan dampak kepastian bagi berbagai pihak.
Pembangunan RSH seharusnya menjadi perhatian utama Pemerintah Daerah. kepala daerah seharusnya mendukung penyediaan RSH bagi masyarakat yang dilayaninya. Bagi pemilihnya saja, tentunya masih banyak yang belum memiliki rumah yang layak. Perizinan RSH harus tidak lagi merupakan masalah yang sulit bagi pengembang dan masyarakat.[2] Pungutan dari oknum pemda di lapangan dalam memperoleh ijin-ijin yang diperlukan harus ditiadakan. Pengembang juga tidak selayaknya diminta memberikan berbagai jenis sumbangan. Praktek-praktek seperti ini menyebabkan pengembang enggan memasuki usaha pembangunan RSH dan lebih memfokuskan diri pada pembangunan rumah mewah. Kepala daerah dituntut untuk mengetahui hal-hal seperti ini dan kemudian melakukan tindakan-tindakan koreksi jika kebijakannya tidak terlaksanakan.
Peningkatan Subsidi
Bantuan berupa subsidi perumahan bagi MBR telah umum disediakan oleh pemerintah di berbagai negara sebagai bagian dari bentuk pelayanan kepada masyarakat. Membantu masyarakat kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya merupakan kewajiban pokok pemerintah di manapun. Di Indonesia, pemberian bantuan perumahan bagi MBR pun sudah dilakukan sejak lama dan tetap berlangsung sampai saat ini. Yang menjadi masalah adalah jumlah dan kepastiannya. Subsidi bagi MBR harus terprogram dalam kurun waktu tertentu sehingga pengembang RSH dapat memanfaatkannya secara tepat waktu.[3] Dengan demikian, pengembang akan lebih tepat lagi menyusun rencana membangun RSH.
Selanjutnya jenis bantuan perlu dipertimbangkan kembali, apakah berupa subsidi selisih bunga seperti yang selama ini dilakukan ataukah pinjaman uang muka tanpa bunga dengan jangka waktu pengembalian yang panjang. Banyak anggota masyarakat yang tidak mempuyai tabungan yang cukup untuk membayar uang muka yang besarnya rata-rata 10-20% dari harga jual rumah. Dengan pinjaman uang muka tanpa bunga ini maka masyarakat mungkin dapat membeli rumah dengan tipe yang lebih baik.
Skim Pembiayaan
Untuk mengatasi permasalahan maturity mismatch, bank-bank penyalur KPR (termasuk KPR bersubsidi bagi RSH) dapat melakukan sekuritisasi KPR. Untuk itu diperlukan perangkat infrastruktur khusus berupa secondary mortgage facility. Dengan berfungsinya PT. SMF, maka bank-bank pemberi KPR dapat melakukan penjualan KPR-nya kepada investor. Cara lain adalah menggunakan pola KPR bagi hasil, yaitu mekanisme pembiayaan melalui wadah dana bersama. Dana bersama ini berasal dari sejumlah pihak/lembaga keuangan dan selanjutnya diinvestasikan dalam bentuk portofolio efek. Dari wadah ini, dana KPR dapat diperoleh dengan ketentuan bagi hasil yang telah disepakati. Mekanisme ini dapat mengatasi kesulitan dana jangka panjang untuk KPR dan dapat menghindari gejolak suku bunga yang merugikan bank maupun debitur.
Skim lain adalah pengerahan dana dari perusahaan-perusahaan asuransi, dana pensiun dan yayasan kesejahteraan hari tua. Lembaga-lembaga tersebut mempunyai dana yang dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang dan besarnya suku bunga dapat diproyeksikan terlebih dahulu.
Perumahan Swadaya
Sistem sosial yang tangguh harus dimulai dengan memberdayakan masyarakat karena sebetulnya masyarakat memiliki kemampuan menyediakan rumah secara swadaya dan menggunakan sumber daya yang ada pada mereka dengan efisien. Pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembangunan perumahan swadaya ini dengan pelayanan sertifikat tanah yang cepat dan murah, menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang menjangkau seluruh wilayah, dll. Pemberian bantuan dari berbagai pihak dapat dikelola oleh organisasi masyarakat setempat dengan pendampingan dari LSM. Arisan rumah juga termasuk pembangunan perumahan secara swadaya, dimana beberapa keluarga dapat bersepakat untuk secara bergiliran mengerjakan pembangunan rumah salah satu anggotanya jika bahan-bahan bangunan telah tersedia.
Program perumahan swadaya diluncurkan Kementerian Perumahan Rakyat pada awal tahun 2006 dengan anggaran sekitar Rp. 30 miliar. Untuk tahap pertama sekaligus uji coba, pemerintah akan membangun 640 rumah swadaya dengan dana Rp. 2,3 miliar. Pemerintah direncanakan menyalurkan dana perumahan swadaya senilai Rp. 30 miliar itu untuk pembangunan 720.000 unit rumah bagi golongan masyarakat informal pada 2006 melalui lembaga keuangan mikro, seperti koperasi simpan-pinjam dan baitulmal wat tanwil (BMT).
Lembaga keuangan mikro baik konvensional maupun BMT juga memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan perbankan dalam menyalurkan kredit mikro perumahan bagi MBR. Penyaluran melalui lembaga keuangan mikro ini akan lebih efektif daripada perbankan yang selama ini kesulitan menjangkau masyarakat sasaran yang mayoritas tidak memiliki pekerjaan tetap. Dana ini dapat lebih terserap karena anggota-anggota koperasi dan BMT kebanyakan dari golongan informal, seperti pelaku usaha mikro, buruh, dan nelayan.
Dengan jumlah BMT pada tahun 2005 yang mencapai 3.068 BMT dan tersebar di 26 propinsi, maka BMT dapat menjangkau sasaran sehingga program perumahan dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan anggota masing-masing. Sebagai ilustrasi, Pinbuk Jateng merintis pelayanan kredit mikro untuk pengadaan perumahan bagi anggotanya dengan program perumahan swadaya BMT. Program layanan pinjaman yang dilaksanakan sejak tahun 2001 di Jateng dan sekitarnya ini melibatkan 510 BMT untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi 1,55 juta orang anggota. Peruntukan fasilitas pinjaman itu a.l. pembebasan tanah/kavling, pembangunan rumah, dan pendanaan perbaikan rumah dengan plafon Rp. 20 juta, pada akhir tahun 2005 sudah terealisasi 300 pinjaman perumahan. Pinjaman mikro perumahan yang disalurkan BMT wilayah Pinbuk Jateng tersebut, hanya meningkat rata-rata 100 pinjaman per tahun akibat keterbatasan pendanaan yang mampu digalang lembaga keuangan mikro terkait. Jika dana dari Pemerintah dapat disalurkan melalui BMT-BMT seperti itu maka target perumahan swadaya akan dapat dicapai.
Pengembangan rumah secara swadaya juga sebetulnya mendapat dukungan internasional. UN Habitat, sebuah lembaga dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermisikan membantu negara-negara berkembang membangun lingkungan perumahan yang sehat, misalnya, berencana menganggarkan dana US$. 5 juta untuk menyukseskan implementasi Slum Upgrading Facility (SUF) di Indonesia. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai bantuan teknis dan modal benih (seed capital) dalam kurun 30 bulan sejak Mei 2006. SUF mempakan fasilitas global baru yang dirancang untuk menstimulasi dan mengkoordinasi kerja sama teknis dan prakarsa dana benih untuk pengembangan proyek -proyek yang bankable terkait dengan perumahan yang terjangkau keluarga berpenghasilan rendah. Untuk mendukung SUF di Indonesia, UN Habitat telah menandatangani nota kesepahaman dengan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat, Departemen Pekerjaan Umum, dan Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh Indonesia.
Berbagai prakarsa mendorong masyarakat membangun rumah dan lingkungannya perlu terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan jutaan keluarga yang belum memiliki rumah tinggal yang layak.
Aspek Tata Ruang dan Lingkungan
Untuk menghindari bencana banjir dan masalah lingkungan lainnya, diperlukan rencana tata ruang yang rinci dan perencanaan permukiman yang terpadu. Pemberian izin prinsip dari pemda atau ijin lokasi dari BPN harus mempertimbangkan analisis dampak lingkungan (amdal) dari adanya permukiman baru yang akan dibangun pengembang. Untuk itu pengembang perlu memiliki amdal yang kemudian diteliti oleh Bapedal secara seksama. Tanpa amdal yang benar Pemda seharusnya tidak mengeluarkan izin prinsip.
Ijin prinsip dan ijin lokasi sendiri perlu dipertimbangkan keberadaannya. Kedua bentuk perijinan ini mengatur hal yang sama, yaitu tentang pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu kedua ijin ini perlu dijadikan satu, sehingga tidak menyulitkan masyarakat. Yang dijadian dasar pemberian ijin seyogyanya rencana detil tata ruang yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah. Jika rencana detil tata ruang yang definitif belum ada, maka pemda perlu segera membuat kriteria di kawasan mana saja suatu permukiman baru dapat dibangun. Dengan kriteria yang jelas, dan diketahui publik secara terbuka, maka pengembang akan dapat lebih mudah merencanakan kawasan perumahan yang akan dibangun.
Selanjutnya untuk mendorong penyediaan RSH dan perumahan lainnya, setiap pemda perlu menetapkan standar yang baku dalam pengurusan perizinan, baik dalam hal waktu pengurusan izin, maupun tarif yang ditetapkan. Pengurusan perizinan perlu dilakukan secara terpadu, agar dapat diputuskan dalam waktu cepat dan simultan. Setelah pengembang mengajukan proposal, maka berbagai instansi terkait berkumpul untuk membahasnya. Jika proposal disetujui, izin bisa langsung diberikan. Jika disetujui tapi dengan syarat, maka pengembang diberitahu untuk melakukan perbaikan. Jika proposal tidak disetujui, maka proposal harus langsung ditolak.
Kantor satu atap untuk pengurusan izin perumahan sudah dibentuk di berbagai daerah, tetapi dalam praktiknya pengembang tetap harus ke berbagai instansi untuk menanyakan apakah permintaan ijinnya sudah diproses. Standar perijinan yang lebih cepat dan murah untuk pengurusan pembangunan RSH maupun rumah jenis lain perlu diberlakukan di semua daerah.[4]

KERJASAMA BERBAGAI PIHAK
Kerjasama berbagai pihak sangat diperlukan untuk mempercepat terpenuhinya harapan bahwa setiap keluarga menghuni rumah yang sehat. Sebagai contoh, bentuk kerjasama itu di kalangan swasta dapat berupa: pengusaha menyisihkan labanya untuk penyediaan rumah karyawan, Jamsostek menyediakan bantuan dana, pekerja menabung secara reguler untuk dapat memiliki rumah dan pemerintah daerah menyiapkan lahan dan prasarana pendukungnya seperti jalan, transportasi, drainase, dll. Kualitas bangunan dapat disesuaikan dengan kebutuhan konsumennya. Misalnya, pekerja yang tidak berkeluarga atau dari luar kota bisa dibangunkan pondokan atau rumah susun sewa (rusunawa) yang lokasinya tidak jauh dari pabrik/kawasan industri.
Skim kerjasama lain yang dapat dibangun adalah program tabungan perumahan pegawai perusahaan. Program ini dapat dilakukan dengan menggalang potensi masyarakat luas dalam penghimpunan dana yang dikhususkan untuk membeli RSH bagi karyawan. Sebagaimana dilakukan oleh Bapertarum untuk Pegawai Negeri Sipil melalui Taperum, tabungan perumahan karyawan swasta dapat dikembangkan oleh BUMN, perusahaan swasta maupun lembaga-lembaga lain yang mempunyai perhatian pada perumahan bagi MBR.
Dalam rangka mengajak perusahaan-perusahaan swasta besar untuk membantu penyediaan rumah bagi karyawan berpenghasilan rendah, perlu diciptakan mekanisme pembiayaan pembangunan rumah oleh perusahaan-perusahaan besar dengan memberikan insentif fiskal pada perusahaan tersebut, seperti pengurangan pajak dan lain-lain. Pelaksanaan pembangunan RSH pada program ini dapat dilaksanakan melalui kerjasama antar lembaga swadaya masyarakat dan para kontraktor lokal.
Untuk mendorong pengembang agar semakin intensif berpartisipasi dalam membangun RSH bagi MBR maka pemerintah perlu menerapkan insentif perpajakan dalam bentuk pengurangan atau pemotongan pajak. Penerapan insentif perpajakan seperti keringanan/pengurangan/pengecualian pajak, dll. Di negara-negara maju insentif pajak tersebut diminati oleh dunia usaha sehingga mereka dapat berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam membangun perumahan karyawan, yang berimbas pada loyalitas karyawan yang tinggi.
Bentuk kerjasama lain digagas oleh Anton Panji (2005). Sistim Perumahan Pekerja yang dibuatnya menggabungkan kekuatan yang dimiliki oleh pemilik lahan (pemerintah daerah, pemerintah pusat, BUMN, BUMD, koperasi, dll), pemilik dana, dan pemerintah daerah (yang mengeluarkan perijinan) serta manajemen properti yang dalam ini adalah pemegang hak cipta Sistim Perumahan Pekerja ini. Sistim memungkinkan harga jual, besar angsuran dan jangka waktu pembayaran yang lebih kompetitif dibandingkan dengan proyek perumahan KPR bersubsidi. Sistem ini menjanjikan harga jual RSH yang lebih murah karena meniadakan berbagai biaya, seperti biaya bunga tanah, biaya bunga konstruksi, biaya bunga KPR, dan mengurangi biaya pemasaran, biaya perijinan, dan profit usaha. Dengan luas tanah 54 - 120 m2, dan luas bangunan 18 - 36 m2, rumah ini dapat dijual dengan harga mulai dari Rp. 4 juta untuk kavling tanah matang dan mulai dari Rp. 10 juta untuk bangunan (tahun 2005). Angsuran yang dibebankan kepada MBR akan berkisar dari Rp 3.500/hari atau Rp 100.000/bulan, dengan demikian akan terjangkau oleh sebagian besar MBR, yaitu yang berpenghasilan antara Rp. 250.000 - Rp 1.000.000. Sistem ini diyakini akan dapat mengusahakan RSH dengan muka ringan, angsuran fleksibel, tanpa jaminan, tanpa bunga dan tanpa KPR.
Berbagai bentuk kerjasama lain prlu diciptakan agar semakin labih banyak lagi MBR yang selama ini masih belum mempunyai rumah dapat memiliki rumah yang layak yang merupakan salah satu kebutuhan pokok setiap orang.

KESIMPULAN
Makalah ini menguraikan beberapa solusi terhadap masalah yang dijumpai dalam pengadaan RSH. Masalah utama adalah harga tanah yang relatif mahal untuk lokasi yang tidak terlalu jauh dari kota. Untuk ini pemerintah daerah diharapkan dapat membebaskan lahan dalam skala luas yang kemudian dapat dijual kepada pengembang sehingga harga jual RSH dapat lebih murah.
Wacana Perumnas dan Perumda jika ada diharapkan memfokuskan kegiatannya pada penyediaan kawasan siap bangun sehingga lokasi permukiman terintegrasi dengan baik dengan rencana tata ruang wilayah. Hal lain adalah BPN memperluas cakupan program pensertifikatan lahan secara massal untuk pembangunan RSH, sehingga biaya sertifikasi RSH dapat dikurangi secara signifikan.
Selanjutnya subsidi perumahan bagi MBR memerlukan jumlah yang semakin besar dan kepastian penyediaannya sehingga pengembang RSH dapat memanfaatkannya secara tepat waktu. Hal pentig lain adalah segera memfungsikan secondary mortgage facilities agar bank-bank pemberi KPR dapat melakukan penjualan KPR-nya kepada investor jangka panjang.
Pemerintah dapat membantu MBR memenuhi kebutuhan rumahnya dengan memberdayakan masyarakat yang memiliki kemampuan menyediakan rumah secara swadaya dengan menggunakan sumber daya yang ada pada mereka melalui pelayanan sertifikat tanah yang cepat dan murah, menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang menjangkau seluruh wilayah, memfasilitasi bantuan dari berbagai pihak (dari dalam maupun luar negeri) untuk membangun rumah secara bersama-sama, mendorong beberapa keluarga untuk bersepakat secara bergiliran mengerjakan pembangunan rumah anggotanya, dsb.

--o0o--

DAFTAR PUSTAKA
Winarso, Haryo dan Kombaitan, B.; Public Intervention in the Formal Housing Market in Indonesia: Who Gets the Benefits?, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 15, No. 2, Juli 2004
Teguh Kinarto, Rumah Sederhana, Sebuah Impian? (Kiat Pengembang Dalam Meningkatkan Pembangunan RSS), paparan pada Acara Rakernas II/2005 ASPERSI dan Saresehan Nasional Perumahan Rakyat, Jakarta, 28 Nopember 2005.
Panangian Simanungkalit, Bisnis Properti Menuju Crash Lagi?, PSPI, 2004.


[1] Konsep Kasiba dan Lisiba ini sudah ada sejak lama, tapi terealisasi baru di beberapa lokasi.
[2] Memang banyak kepala daerah yang sudah menegaskan agar aparatnya tidak memungut dana macam-macam dari pengembang terkait dengan pembangunan RSH. Namun pelaksanaannya masih tidak demikian.
[3] Misalnya, alokasi subsidi perumahan ditetapkan untuk selama 5 tahun yang akan datang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJM), yang kemudian dipenuhi secara konsisten oleh pemerintah dalam APBN tahunan.
[4] Saat ini sedang disiapkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Percepatan Pembangunan Perumahan Rakyat untuk mengatasi semua masalah yang menjadi penghambat bagi pengembangan perumahan selama ini. Instruksi Presiden itu diharapkan dapat mendorong seluruh pemda untuk memberikan pelayanan pengadaan RSH dengan cepat dan murah.

No comments:

Post a Comment