Monday 17 September 2007

Daya Saing dan Peran Riset

Oleh Herry Darwanto

Pengantar
Lemahnya daya saing membuat Indonesia berada pada peringkat terbelakang kedua dari 61 negara (World Competitiveness Yearbook 2006, IMD). Ada 4 faktor yang dinilai dalam ukuran daya saing antar negara ini, yaitu: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan kondisi infrastruktur. Sebelumnya, Indonesia pernah berada pada peringkat 47 (2002), merosot menjadi peringkat ke 57 (2003), dan terus menurun hingga tahun 2006 ini. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia tertinggal cukup jauh. Negara paling dekat, Singapura, yang tidak lebih luas dari wilayah Jabodetabek, dengan penduduk hanya separoh penduduk Jakarta, tercatat sebagai negara berdaya saing paling tinggi ketiga dalam survei IMD tersebut. Malaysia berada pada peringkat 23, dan Filipina yang kerap mengalami gejolak politik berada pada peringkat 49.
Penilaian terburuk Indonesia adalah terutama pada kinerja ekonomi dan kualitas infrastruktur. Aspek infrastruktur yang dinilai adalah kualitas infrastruktur dasar, infrastruktur pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta infrastruktur kesehatan dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, hasil survei yang rendah untuk Indonesia terkait dengan dominasi sektor nonperdagangan dan ritel, sedangkan industri manufaktur amat lemah. Sektor ekspor-impor seringkali dibantu oleh harga produk pertanian dan pertambangan yang baik.

Perkembangan Ekonomi Awal Tahun 2006

Tahun 2006 awal mencatat kondisi makro ekonomi dan keuangan yang relatif stabil. Misalnya inflasi selama Januari-Juni 2006 tercatat 2,87%, yang jika diproyeksikan sampai akhir 2006 akan mencatat angka 8%. Sebagai catatan, inflasi tahun 2005 mencapai angka cukup tinggi yaitu 17% akibat kebijakan penaikan harga BBM.
Namun upaya untuk mempertahankan inflasi yang rendah sehingga menjaga stabilitas nilai tukar akan membuat tingkat bunga tetap tinggi, walaupun terjadi penurunan. Keadaan ini tidak menguntungkan bagi sektor riel. Tingkat pertumbuhan ekonomi masih berada pada tingkat 4,6% pada triwulan pertama 2006, walaupun diharapkan dapat mencapai laju 6% per tahun.
Salah satu akibat dari pertumbuhan yang rendah adalah angka pengangguran terbuka yang berkisar antara 10-11% pada awal 2006. Pertumbuhan ekonomi yang rendah itu terutama didorong oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, konstruksi, keuangan, dan jasa-jasa. Sedangkan sektor industri, pertanian serta pertambangan masih menunjukkan pertumbuhan yang rendah. Sektor manufaktur hanya tumbuh 2% dalam triwulan pertama 2006. Hal ini terkait dengan pertumbuhan investasi yang rendah (2,9%) dan impor bahan baku dan barang modal yang rendah.
Kinerja ekspor bulan Mei mencatat nilai cukup tinggi, yaitu mencapai 38,39 miliar dollar AS selama Januari-Mei 2006, atau meningkat 13,40 persen dari periode sama tahun 2005. Namun, kinerja ini lebih banyak disebabkan oleh melonjaknya harga komoditas ekspor berbasis sumber daya alam di pasar dunia. Kinerja ekspor Indonesia masih tergantung pada faktor harga komoditas tingkat dunia. Hal ini dapat menyebabkan fluktuasi perekonomian Indonesia dalam jangka pendek yang sulit diatasi.
Bagaimanapun, jika pertumbuhan ini berlangsung terus, maka nilai ekspor sampai akhir tahun 2006 mungkin akan mencapai 100 miliar dollar AS. Namun angka ini masih belum membanggakan, karena negara-negara lain mencatat pertumbuhan ekspor yang juga tinggi. Thailand misalnya, yang pada beberapa tahun lalu nilai ekspornya lebih rendah dari Indonesia, kini sudah di atas 100 miliar dollar AS, jauh melampaui Indonesia yang lebih kaya SDA dan SDM.
Ditinjau menurut struktur, pangsa sektor industri manufaktur ternyata menurun, sedangkan tambang, migas, dan pertanian meningkat. Kemungkinan rendahnya pertumbuhan pada beberapa bulan ke depan muncul dari kenyataan bahwa impor bahan baku yang dibutuhkan industri menurun dari 78,25 persen (2005) menjadi 75,75 persen (2006). Di pihak lain, barang konsumsi terus menyerbu pasar dalam negeri, menambah kesulitan industri lokal. Berbagai industri manufaktur tercatat mengalami penurunan penjualan. Industri otomotif baru mampu menjual 28 persen dari total penjualan 2005. Beberapa perusahaan industri manufaktur melaporkan kinerja yang tidak menggembirakan pada triwulan pertama 2006.
Di pasar global, produk Indonesia kalah bersaing dengan produk sejenis dari China, Vietnam, dan sebentar lagi India serta Banglades. Di pasar domestik pun terus-menerus diserbu produk manufaktur impor yang legal maupun ilegal di tengah kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang lemah.

Iptek yang Terabaikan
Untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga, maka ekonomi Indonesia harus mengandalkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Pola ekonomi yang berbasis sumber daya alam harus berubah menjadi pola perekonomian yang berbasis pengetahuan. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi maka kebijakan yang mendorong investasi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baruharus ditetapkan.
Brazil dapat menjadi contoh bagaimana pemerintah yang serius membangun kemampuan iptek dapat meningkatkan kinerja perekonomian. Setelah memberlakukan undang-undang perindustrian baru pada tahun 1996, Brazil mendorong penelitian dan pengembangan inovasi baru yang terbukti mampu mendongkrak investasi asing dari 4,4 miliar dollar AS tahun 1995 menjadi 32,8 miliar dollar AS pada tahun 2000.

Disini undang-undang mewajibkan setiap industri mengembangkan riset teknologi, tetapi UU itu kurang operasional karena belum ada peraturan pemerintah untuk melaksanakannya, khususnya pemberian insentif bagi industri. Aspek legal perlindungan terhadap hasil penemu masih belum mantap.
Walaupun potensi nasional sangat kaya akan sumber daya alam, namun krisis yang mendera bangsa Indonesia hingga kini masih juga belum teratasi. Hal ini lebih disebabkan hasil kajian riset dari berbagai lembaga kredibel belum dimanfaatkan oleh perusahaan besar maupun kecil.
Seringkali juga kebijakan strategis dan teknis pemerintah tidak berdasarkan hasil kajian riset yang mendalam. Seharusnya pengambilan kebijakan strategis dan teknis selalu didahului oleh riset ilmiah, sehingga tujuan kebijakan itu dapat secara efektif tercapai dan akibat sampingnya tidak terlalu besar. Keterbatasan dana seharusnya menjadi faktor pendorong dilakukannya kajian ini, bukan sebaliknya.
Pemerintah perlu mengakomodasi riset sebagai dasar maupun arah dari pengambilan kebijakan khususnya di bidang ekonomi. Kelemahan itu dibuktikan dengan masih seringnya pemerintah (daerah) melahirkan sejumlah kebijakan ekonomi yang menghambat laju perekonomian. Hasil lembaga riset maupun institusi perguruan tinggi sering diabaikan oleh kalangan pengambil kebijakan. Hal itu akan semakin memperlemah daya saing nasional, yang berdampak pada semakin tidak berkembangnya industri lokal.

Upaya-upaya Strategis Peningkatan Daya Saing
Daya saing produk sektor industri di pasar dalam negeri maupun di pasar dunia masih tetap rendah. Namun hal ini bisa berubah jika masalah-masalah suku bunga, biaya ekonomi tinggi, perburuhan, perpajakan, penyelundupan, dan sebagainya dapat diatasi. Faktor-faktor penentu ini sudah lama dikenali namun belum bisa diatasi hingga kini.
Diversifikasi produk dan pasar ekspor perlu dilakukan secara sistematis. Diplomasi dagang perlu diperlukan oleh staf kedubes di luar negeri. Produk-produk hasil kerajinan rakyat perlu dipromosikan sehingga akses ke pasar internasional terbuka lebar, sebagaimana produk-roduk China dapat masuk ke seluruh pelosok negeri.
Berbagai pertauran yang mendukung pertumbuhan ekonomi perlu ditetapkan. Pemerintah dan DPR perlu segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang yang menyangkut perkembangan sektor riel, yaitu RUU Pajak, RUU Investasi, RUU Bea Cukai dan RUU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
UU ini dibutuhkan untuk mendukung perkembangan iklim usaha di tengah kondisi yang menyulitkan, akibat menurunnya daya beli masyarakat, ekonomi biaya tinggi, birokrasi yang berbelit-belit dan hambatan investasi di daerah melalui perda-perda retribusi.

No comments:

Post a Comment