Tuesday 18 September 2007

Permasalahan Penyediaan Rumah Sederhana Sehat




PENDAHULUAN
Masalah pokok yang dihadapi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah harga rumah yang tidak terjangkau, baik uang muka maupun cicilannya. Harga rumah yang tinggi relatif terhadap daya beli MBR yang rendah disebabkan oleh berbagai hal, seperti belum mantapnya sistem pembiayaan perumahan, terbatasnya lahan murah untuk pembangunan perumahan, kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam pembangunan RSH, rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan, belum mantapnya kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan.
Makalah ini membahas setiap permasalahan secara rinci, darimana solusi untuk pembangunan rumah sederhana sehat dapat dirumuskan.

PERMASALAHAN
Menurut Menpera (2006) sampai saat ini masih banyak kendala yang dihadapi dalam dalam pembangunan RSH. Pertama, terbatasnya ketersediaan dan tingginya harga lahan terutama di daerah perkotaan. Kedua, lambatnya proses sertifikasi tanah, izin lokasi, dan izin mendirikan bangunan. Ketiga, terbatasnya penyediaan kredit konstruksi dan pokok pinjaman oleh perbankan. Keempat, lambatnya proses pengalihan hak atas tanah pemerintah daerah untuk kolateral kredit konstruksi pembangunan perumahan pegawai negeri sipil (PNS). Kelima, terbatasnya kapasitas peminjaman PNS untuk mendapatkan KPR RSH. Keenam, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang memberatkan konsumen. Kendala ketujuh adalah terbatasnya dukungan penyediaan listrik kapasitas 450-900 watt dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Kedelapan, terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah. Kesembilan, terlambatnya pemahaman tentang mekanisme dan prosedur penyaluran subsidi KPR RSH oleh cabang-cabang perbankan di daerah. Kendala kesepuluh, meningkatnya harga bahan bangunan akhir-akhir ini sehingga harga per unit RSH di beberapa kota melampaui harga jual maksimum yang ditetapkan pemerintah sehingga menjadi tidak terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Secara lebih rinci lagi, kendala-kendala utama yang dihadapi dalam pembangunan RSH adalah sebagai berikut.

Lokasi dan Harga Lahan
Untuk membangun RSH yang terjangkau oleh MBR, maka harga lahan seharusnya relatif murah. Dalam kenyataannya di hampir seluruh kota-kota besar pengembang sulit mendapatkan lahan dengan harga murah. Jika harga lahan di bawah Rp. 30.000,-/m2 maka pengembang dapat menjual rumah sesuai dengan ketetapan Pemerintah Rp. 42 juta/unit. Lahan seharga ini sudah jarang dijual oleh pasar mengingat permintaan lahan yang tinggi untuk berbagai keperluan. Lahan yang murah umumnya sangat jauh dan tidak memiliki prasarana dan sarana dasar (PSD) yang diperlukan bagi perumahan yang layak huni. Karena tingginya harga lahan di tengah maupun di pinggir kota, maka lokasi RSH pada umumnya tidak terletak di tengah kota, melainkan semakin jauh berlokasi di luar kota yang harga lahannya masih murah. Ini berarti MBR membutuhkan dana tambahan untuk ongkos transport ke tempat kerja yang umumnya berada di kota besar.
Jika berada di wilayah yang strategis, maka RSH biasanya dibangun di bagian belakang kompleks perumahan mewah, sedangkan di bagian depan tetap dibangun rumah untuk kelas menengah ke atas. Penghuni rumah sederhana bisa ikut merasakan berbagai fasilitas yang biasanya ditujukan untuk penghuni real estat.[1] Kecemburuan sosial di berbagai kawasan dapat muncul jika pertumbuhan rumah mewah tidak diimbangi dengan pertumbuhan RSH yang memadai, karena yang tumbuh adalah rumah-rumah kumuh di sekitar rumah-rumah mewah tersebut.

Perijinan
Untuk dapat membangun kawasan perumahan di suatu wilayah, pengembang harus memperoleh ijin dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Untuk memperoleh ijin itu, pada umumnya pengembang harus mengeluarkan biaya. Ijin-ijin itu antara lain: ijin rekomendasi, ijin lokasi/retribusi ijin lokasi, retribusi site plan/retribusi penataan lahan dan retribusi ijin mendirikan bangunan/IMB.
Fungsi perijinan adalah agar proses pembangunan rumah sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan lain yang ditentukan, dan bukan sebagai sarana untuk menambah Pendapatan Asli Daerah. Bagi pengembang, biaya perijinan yang tidak berbeda antara rumah mewah dan sederhana akan disikapi dengan memperbanyak pembangunan rumah mewah yang lebih menguntungkan.[2] Namun bagi MBR adanya biaya-biaya perijinan akan menambah beban membayar uang muka dan cicilan kredit. Pengembang sulit diharapkan mengenakan biaya silang kepada berbagai kelompok konsumen rumah, jika pemerintah daerah sendiri tidak menetapkan kebijakan yang memihak MBR.
Yang diharapkan adalah Pemerintah Daerah kembali meniadakan biaya-biaya perijinan bagi pembangunan RSH sebagaimana yang dahulu dilakukan pada era Orde Baru. Dengan demikian maka harga RSH akan lebih terjangkau oleh MBR. Namun kini dengan otonomi yang lebih luas, banyak pemerintah daerah yang kembali menjadikan perijinan untuk pembangunan RSH sebagai upaya untuk menambah dana daerah.[3]
Prasarana dan Sarana Dasar
Lingkungan permukiman yang sehat memerlukan adanya prasarana dan sarana dasar (PSD) yang memadai, seperti saluran pembuangan air kotor, air bersih, listrik, dll. Pengadaan PSD ini sewajarnya menjadi kewajiban pemerintah karena merupakan barang publik yang tidak menarik bagi swasta untuk memproduksi dan menjualnya. Dalam pembangunan suatu permukiman baru, pada umumnya PSD ini menjadi tanggungan pengembang, yang pada akhirnya berpengaruh pada harga jual rumah. Oleh sebab itu jika prasarana dan sarana dasar ini dapat dibangun oleh pemerintah sesuai dengan kewajibannya, maka harga jual rumah akan dapat lebih murah.
Bantuan pengadaan PSD diberikan oleh Departemen Pekerjaan Umum untuk wilayah di luar kawasan perumahan, dan oleh Kantor Menpera untuk di dalam kawasan perumahan. Namun jumlahnya masih sangat terbatas dalam beberapa tahun terakhir bantuan prasarana dan sarana dasar untuk perumahan sederhana cenderung menurun. PSD yang dibangun pun diprioritaskan untuk permukiman PNS, sehingga tidak mencakup sebagian besar MBR.
Fasilitas yang paling penting bagi perumahan sederhana adalah selain jalan raya juga angkutan umum, karena kebanyakan calon penghuninya adalah karyawan menengah ke bawah yang sebagia besar tidak mempunyai mobil, sehingga angkutan umum menjadi sarana penting. Selain itu kedekatan dengan stasiun kereta atau terminal bus menjadi faktor yang dipertimbangkan oleh MBR. Hampir semua pengembang membangun fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang bisa dimanfaatkan penghuni. Pengembang sengaja mencari lokasi yang dekat dengan rumah sakit, tempat ibadah, terminal, dan fasum atau fasos lainnya, jika tidak bisa membangun sendiri.
Listrik adalah fasilitas umum yang selalu didambakan MBR. Untuk RSH tipe 36 ke bawah seharusnya disediakan daya 450 VA (watt). Namun PLN sering mengatakan sudah tak ada lagi stok listrik, maka rumah sederhana tadi tetap dipaksakan untuk mengenakan daya 900 watt hingga 1.300 watt yang tidak disubsidi pemerintah.

Pembiayaan Perumahan
Pembiayaan perumahan diperlukan untuk pembangunan (oleh pengembang) dan untuk pembelian (oleh konsumen).
Pembiayaan untuk pembangunan perumahan
Pembiayaan pembangunan perumahan meliputi biaya-biaya untuk pembebasan tanah, pematangan lahan, perizinan (legalitas proyek), penyediaan sarana dan prasarana serta biaya konstruksi bangunan. Pembiayaan pembangunan perumahan tersebut membutuhkan dana yang besar dalam waktu yang hampir bersamaan.[4]
Mengingat besarnya dana investasi yang dibutuhkan dalam pembangunan perumahan, maka sebagian besar pengembang mendapatkan dana dengan cara memanfaatkan fasilitas kredit dari bank, yakni dalam dua skim: kredit pembebasan lahan dan kredit konstruksi. Pada saat ini pihak bank cenderung tidak memberikan kredit pembebasan lahan (kecuali Bank BTN) untuk memperkecil menghindari spekulasi pengembang sebagaimana terjadi pada sebelum krisis moneter tahun 1997.
Saat ini suku bunga kredit konstruksi dikenakan sama besarnya untuk RSH maupun rumah mewah. Jika bunga kredit konstruksi ini dapat dikenakan lebih rendah oleh bank pelaksana (misalnya dengan cara mengurangi keuntungan atau tidak memungut provisi bank yang sama besarnya dengan program rumah mewah atau properti komersial) maka akan lebih banyak MBR yang dapat memiliki RSH.
Penyediaan KPR
Penyediaan KPR membutuhkan dana yang besar dan bersifat jangka panjang (5 s/d 20 tahun). Penyediaan sumber dana KPR ini masih mengandalkan dana jangka pendek yaitu giro, tabungan dan deposito. Bagi masyarakat mampu, membeli rumah dapat dilakukan secara tunai. Namun bagi kebanyakan orang, pembelian rumah dilakukan secara angsuran setelah membayar uang muka. Untuk keperluan pembelian secara angsuran ini, telah berkembang fasilitas KPR. KPR adalah kredit berjangka panjang yakni 5-20 tahun, sementara sumber dana yang ada seperti: giro, tabungan, deposito dan obligasi pada umumnya berjangka waktu pendek dan menengah. Bank yang membiayai KPR dengan mengandalkan sumber-sumber dana jangka pendek tersebut dengan demikian mengalami permasalahan maturity mismatch antara sumber dan penggunaan dana.
Khusus untuk membantu memenuhi kebutuhan RSH yang layak huni dan terjangkau oleh MBR, Pemerintah melaksanakan program dan kebijakan bantuan untuk perumahan dalam bentuk KPR bersubsidi. KPR bersubsidi dirintis tahun 1976 dan terus dilaksanakan sampai saat ini. Melalui program ini, telah lebih dari 1,76 juta keluarga mempunyai rumah sedehana. Pemberian subsidi merupakan salah satu upaya agar masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah bisa memiliki rumah yang layak. Di negara maju subsidi perumahan tetap disediakan.
Dana KPR bersubsidi berasal dari pinjaman dana jangka panjang dengan bunga yang cukup rendah (antara 0-9%) yang disediakan oleh Pemerintah kepada bank pelaksana KPR bersubsidi. Pinjaman Pemerintah tersebut diberikan dengan berbagai skim, yaitu (Kodradi, 2005):
­ Penyertaan Modal Pemerintah/PMP (1976-1991),
­ Kredit Likuiditas Bank Indonesia/KLBI (1976-1999),
­ Bank Dunia melalui two step loan (1986-1991) dan
­ Rekening Dana Investasi/RDI (1991-2001).
Oleh bank pelaksana KPR bersubsidi dana-dana tersebut dicampur dengan dana pihak ke tiga dengan komposisi sesuai dengan ketentuan Pemerintah. Perkembangan dana KPR sejak tahun 1976 mengalami perubahan sesuai dengan kondisi keuangan dan kebijakan Pemerintah.
Sejak tahun 2002, karena keterbatasan kemampuan keuangan, Pemerintah mengganti pola KPR bersubsidi dengan pola subsidi selisih bunga. Pada pola ini, Pemerintah memberikan subsidi bunga senilai selisih antara angsuran bunga pasar dengan angsuran bunga subsidi yang diberikan kepada peminjam dalam jangka waktu tertentu (4 s/d 10 tahun). Dana yang digunakan untuk pembiayaan KPR bersubsidi dengan pola ini merupakan dana yang dicari sendiri oleh bank pelaksana di pasar dengan suku bunga pasar, seperti penghimpunan dana pihak ketiga (giro, tabungan dan deposito) dan dana dari pasar modal (obligasi, dll).
Berdasarkan data Bank Indonesia, kredit perbankan yang dikucurkan untuk membiayai properti selama tahun 2000-2004 adalah sekitar Rp. 30,7 triliun, yang terdiri dari kredit konstruksi Rp. 6,6 triliun, kredit real estate Rp. 3,7 triliun dan KPR Rp. 20,3 triliun. Terhadap total kredit yang dikucurkan perbankan, kredit untuk proeprti hanya 27% saja, sisanya dari masyarakat tanpa melalui perbankan, antara lain dari keluarga, majikan, koperasi, atau sumber-sumber lain. Secara keseluruhan persentase kredit untuk perumahan di Indonesia masih rendah, sedang di negara maju kredit perumahan merupakan bagian terbesar dari total kredit yang diberikan perbankan.
Masalah lain yang dihadapi dalam pembiayaan perumahan adalah fluktuasi suku bunga yang tinggi karena bersumber dari dana pinjaman jangka pendek. Jika tingkat bunga pinjaman jangka pendek ini mengalami kenaikan maka suku bunga KPR juga naik. Dengan tingkat suku bunga yang cenderung meningkat maka setiap ada kecenderungan inflasi tinggi, seperti jika ada kenaikan harga BBM, maka suku bunga KPR menjadi semakin tinggi. Maka kemampuan MBR untuk membeli RSH atau membayar cicilan KPR menjadi menurun. Oleh sebab itu penyediaan dana jangka panjang dengan bunga murah akan dapat mengatasi kekurangan rumah yang dialami oleh sebagian besar MBR.
Masalah lain lagi dalam pembiayaan RSH adalah bahwa bantuan pendanaan yang disediakan oleh pemerintah cenderung tidak dapat terserap karena tidak banyak bank yang dapat melayani KPR bersubsidi. Keberadaan bank penyedia KR bersubsidi masih terasa jauh secara fisik dan psikologis bagi MBR yang umumnya berada jauh dari pusat-pusat perkotaan.
Perpajakan
Beberapa jenis pajak harus dibayar oleh konsumen pada saat membeli rumah. Pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan terhadap setiap orang yang membeli rumah. Namun khusus untuk RSH, kebijakan pemerintah (terakhir melalui Kepmenkeu No. 65/PMK.03/2005) adalah bahwa PPN yang sebesar 10% dibebaskan untuk pembelian RSH dengan harga maksimal Rp. 42 juta. Ini dimaksudkan agar semakin banyak MBR yang dapat membeli RSH.
Pajak lain yang harus dibayar pembeli rumah adalah Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-Undang Perpajakan mengenai BPHTB menetapkan bahwa untuk harga perolehan hingga maksimal Rp. 60 juta pengenaan BPHTB dibebaskan. Ini juga dimaksudkan agar MBR tidak terbebani oleh kewajiban membayar pajak. Keputusan Menteri Agraria No. 9 tahun 1997 dan selanjutnya Keputusan Menteri Agraria No. 15 tahun 1997 menetapkan pembebasan biaya IMB dan BPHTB bagi rumah sederhana dan sangat sederhana. Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria tersebut, Menteri Dalam Negeri menginstruksikan Gubemur, Bupati dan Walikota se Indonesia, untuk membebaskan pungutan penerbitan IMB bagi Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS).
Namun pengenaan BPHTB berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain dengan kecenderungan umum pemerintah daerah mengenakan BPHTB yang tinggi untuk menambah PAD karena dalam ketentuan tentang BPHTB, pemerintah daerah mendapat bagian sebesar 60%.[5] RSH yang ditetapkan sebesar maksimal Rp. 42 juta pun tidak terlepas dari pengenaan BPHTB. Pembangunan RSH dianggap sebagai kegiatan investasi di sektor industri yang menjadi sasaran untuk menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah yang potensial. Selain dari ketentuan resmi yang cukup memberatkan MBR tersebut, ketentuan lain yang tidak resmipun menambah biaya pengadaan rumah, yang konon dapat mencapai 20% dari harga rumah.
Ekonomi biaya tinggi dalam pembangunan RSH juga muncul karena adanya perda-perda seperti tentang gorong-gorong dan saluran di permukiman, perda amdal lalu lintas, perda pemakaman, dan lain-lain.
Terhadap pengembang, pajak yang dikenakan adalah pajak penghasilan badan, pajak penghasilan perorangan, dan pajak dividen yang seluruhnya mencapai 62%. Jika pajak yang dibebankan itu tidak terlalu banyak maka harga RSH subsidi bisa ditekan (Fuad Zakaria dalam Kompas 28/11/2005).
Sertifikasi Tanah
Setiap pembeli rumah menghendaki agar lahan dimana rumah itu berdiri mempunyai sertifikat hak milik atas namanya sendiri sebagai tanda bahwa ia adalah pemilik yang sah dari lahan itu. Sertifikat untuk RSH umumnya merupakan pemecahan dari sertifikat lahan yang luas, baik dalam bentuk hak guna bangunan, hak milik, atau hak lainnya. Pemecahan sertifikat induk yang dilakukan oleh instansi pertanahan ini memerlukan biaya karena memerlukan proses pengukuran, administrasi, dll. Saat ini biaya yang dikenakan pada konsumen RSH masih tinggi baik secara absolut maupun relatif terhadap biaya untuk rumah mewah. Jika biaya sertifikasi ini dapat ditiadakan atau diringankan untuk konsumen RSH maka ini akan sangat membantu MBR. Sebagai catatan, sebelum tahun 1998 biaya pengurusan sertifikat RSH berkisar antara Rp. 60.000 – Rp. 70.000 per unit, sedang pada tahun 2005 biaya itu meningkat hampir 10 kali lipat (Teguh Kinarto, 2005). Namun Pemerintah telah berjanji akan segera menghapus biaya sertifikasi RSH (diucapkan Ketua BPN saat memperingati UU Pokok Agraria ke-45 dan Bulan Bhakti Agraria tahun 2005 di Jakarta).
Kenaikan Harga Bahan Bangunan
Komponen lahan biasanya memiliki%tase 30-40% dan bangunan antara 40% 50%. Sebanyak 10-20% sisanya adalah komponen untuk pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial. Keterbatasan ketersediaan dan tingginya harga lahan di daerah perkotaan adalah kendala utama pembangunan RSH. Selain itu, terbatasnya dukungan penyediaan listrik kapasitas 450-900 watt dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga ikut menambah besarnya biaya pembangunan RSH. Dan terkait dengan harga-harga ini adalah seringnya terjadi kenaikan harga-harga bahan bangunan akibat kenaikan harga BBM, dll, sehingga harga per unit RSH melampaui harga jual maksimum yang ditetapkan pemerintah atau menjadi tidak terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Setiap terjadi inflasi yang tinggi akan mengakibatkan kemampuan menabung untuk membeli RSH bagi MBR semakin mengecil karena suku bunga KPR meningkat akibat strategi otoritas perbankan memperketat peredaran rupiah untuk menekan laju inflasi, sehingga semakin bayak lagi MBR yang tidak mampu memiliki rumah.
Kenaikan harga-harga selalu berakibat pada kenaikan ongkos membangun rumah. Harga lahan setiap tahunnya mengalami kenaikan berkisar 10-20%, harga bangunan juga naik rata-rata 10-15% per tahun.[6] Biaya tersebut belum termasuk biaya lain-lain, seperti biaya perizinan, sehingga biaya bisa bertambah sampai Rp. 750-800 ribu. Bila dikalikan tiga puluh (m2), diperoleh harga bangunan sebesar Rp. 30 juta. Jika harga tanah mencapai Rp. 18 juta, maka total biaya pengadaan RSH menjadi Rp. 48 juta, belum termasuk keuntungan pengembang. Biaya ini telah jauh melampaui patokan harga RSH yang sebesar Rp. 42 juta. Namun kenaikan harga rumah akibat kenaikan harga bangunan ini dapat ditekan jika biaya tidak resmi dalam pengurusan izin, pengurusan sertifikat sampai biaya keamanan yang dikutip oleh preman di lokasi proyek bisa dihapuskan.
Bagi konsumen, kenaikan harga-harga menyebabkan daya beli mereka menurun, akibatnya permintaan terhadap RSH menjadi berkurang dan keuntungan yang diperoleh pengembang RSH menjadi lebih sedikit. Dengan tingkat keuntungan yang kecil, pengembang RSH tidak sebanyak pengembang rumah mewah, akibatnya kesenjangan antara kebutuhan dan pemenuhan RSH akan semakin besar. Biaya hidup MBR yang semakin meningkat, sementara penghasilan yang didapat relatif tidak meningkat menyebabkan masyarakat semakin sulit untuk memiliki rumah yang layak huni. Lingkaran setan ini perlu diputus dengan misalnya mengendalikan harga lahan dan bahan bangunan tertentu, sehingga harga jual RSH tetap terjangkau oleh MBR.
Masalah Tata Ruang
Pada tahun 2002 Menteri Kimpraswil membuat kebijakan bahwa meski para pengembang sudah memperoleh izin prinsip dan izin lokasi, mereka perlu menghentikan proyek perumahan selama enam bulan akibat banjir yang terjadi di banyak wilayah. Selain itu para pengembang juga harus melakukan perencanaan kembali proyek permukimannya selama proyek dihentikan. Pembangunan rumah yang dihentikan itu dilakukan di semua tempat di kawasan proyek perumahan di Jabotabek. Hal ini dilakukan karena diduga banjir terjadi antara lain akibat pengembang tidak patuh dalam membangun fasilitas sosial dan fasilitas umum.
Dalam membangun rumah, para pengembang mengacu pada izin prinsip yang diperoleh dari pemda dan izin lokasi yang diperoleh dari BPN. Komponen yang ada dalam izin prinsip di antaranya tentang analisa mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dikeluarkan Badan Pengendali Lingkungan (Bapedal). Amdal diberikan kalau rencana proyek tersebut dianggap tidak mengganggu atau sudah sesuai dengan aturan lingkungan.
Permasalahannya adalah bahwa sebagian besar pemerintah daerah belum mempunyai rencana tata ruang wilayah (RTRW) atau rencana tata ruang kota (RTRK) yang berketetapan hukum. Dengan demikian, pemda cenderung memberikan izin prinsip kepada pengembang perumahan tidak berdasarkan pertimbangan legal, tetapi berdasarkan rencana pembangunan, studi/kajian, pemahaman pejabat, atau kriteria tertentu yang tidak secara jelas diketahui oleh masyarakat. Yang biasanya dijadikan acuan oleh pemda dalam memberikan izin bagi pembangunan kawasan perumahan adalah pola dasar pembangunan pemda setempat. Namun, pola dasar tersebut tidak rinci dan skala peta yang digunakan tidak memadai (misalnya 1:250.000), sehingga dapat terjadi kawasan yang seharusnya diperuntukkan bagi kawasan lindung kemudian dijinkan untuk dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman.
Pejabat pemda dengan demikian tidak bersalah karena tidak adanya rencana tata ruang wilayah. Namun dapat terjadi kasus lain di mana pemda rencana tata ruang yang pasti belum ada, namun kemudian dibuat dengan mengakomodasi rencana lokasi perumahan yang diusulkan pengembang, yang bisa jadi disusun tanpa berdasar pada kaidah planologi yang benar.
Ketidakberesan tata ruang menyebabkan pembangunan prasarana menjadi semrawut. Banyak perumahan yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir, kemudian kebanjiran. Banjir tentu tidak mengenal apakah suatu kawasan perumahan itu berkelas sederhana, menengah atau mewah. Namun bagi MBR, bencana banjir dapat menghilangkan sebagian besar harta benda yang dimilikinya.
--o0o--

DAFTAR PUSTAKA
Chairul Basri Achmad, Kebijakan Pelayanan Pertanahan Dalam Mendukung Program Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, paparan pada Acara Rakernas II/2005 ASPERSI dan Saresehan Nasional Perumahan Rakyat, Jakarta, 28 Nopember 2005.
Direktur Jenderal Pajak, Pelayanan Perpajakan Terhadap Usaha Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana, paparan pada Acara Rakernas II/2005 ASPERSI dan Saresehan Nasional Perumahan Rakyat, Jakarta, 28 Nopember 2005.
Menteri Negara Perumahan Rakyat, Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Perumahan Rakyat, paparan pada Acara Rakernas II/2005 ASPERSI dan Saresehan Nasional Perumahan Rakyat, Jakarta, 28 Nopember 2005.
Teguh Kinarto, Rumah Sederhana, Sebuah Impian? (Kiat Pengembang Dalam Meningkatkan Pembangunan RSS), paparan pada Acara Rakernas II/2005 ASPERSI dan Saresehan Nasional Perumahan Rakyat, Jakarta, 28 Nopember 2005.


[1] Misalnya, kolam renang, tempat mandi sauna, fitnes centre, dan lapangan tenis.
[2] Kalaupun jumah rumah yang dibangun tidak banyak, adanya biaya perijinan tidak menjadi masalah karena dapat dibayar oleh pembeli yang mempunyai daya beli tinggi.
[3] Beberapa daerah memang mempunyai kebijakan yang positif dengan memberikan keringanan atau bahkan pembebasan perijinan untuk RSH. Namun sebagian besar pemerintah daerah masih menerapkan biaya cukup tinggi bagi pengembang maupun bagi MBR.
[4] Sebagai ilustrasi, pembangunan perumahan RSH skala kecil yaitu sejumlah 200 unit membutuhkan dana sebesar ± Rp. 6 miliar.
[5] Batasan harga jual sebesar Rp. 60 juta juga cenderung untuk diturunkan oleh Pemda kabupaten/kota sehingga semakin banyak obyek pajak yang tersangkut.
[6] Sebagai ilustrasi, karena kenaikan harga BBM pada bulan oktober 2005, maka harga-harga komponen produksi juga meningkat, sehingga biaya pembangunan RSH juga sudah melonjak dari Rp. 550 ribu permeter persegi menjadi Rp. 750 ribu permeter persegi (kasus kota Surabaya).

No comments:

Post a Comment