Monday 17 September 2007

Tantangan Pemerintah Kota Dalam Pembangunan Perkotaan

Kota mempunyai peran strategis dalam kemajuan suatu bangsa. Kota adalah inkubator gagasan dan pemikiran baru, pusat pertukaran informasi, pusat pelayanan jasa-jasa modern, medan latihan wirausahawan atau the true engine of economic development.
Kota-kota terbukti memberikan kontribusi besar dalam perekonomian nasional. Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi daerah-daerah bestatus kota mencapai laju 8,89% per tahun, sedangkan rata-rata nasional adalah 5,6%. Pada saat krisis terjadi, pertumbuhan ekonomi kota-kota menjadi negatif, namun pertumbuhan ekonomi nasional lebih negatif lagi. Laju pertumbuhan ekonomi kota-kota pasca krisis cenderung lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional.

Permasalahan Kota
Disamping membawa perubahan yang siginfikan terhadap perekonomian daerah dan nasional, perkembangan kota di Indonesia diiringi dengan munculnya berbagai permasalahan. Masalah-masalah itu antara lain sebagai berikut.

Masalah Pelayanan Umum
Air bersih dari PDAM belum dapat dinikmati oleh seluruh jumlah penduduk kota, diperkirakan kurang dari 60% penduduk kota saja yang terlayani. Penduduk lainnya harus memperoleh air bersih dari sumber-sumber alam langsung. Sistem pembuangan sampah hanya mampu melayani kurang dari 40% dari seluruh penduduk perkotaan. Beberapa kota bahkan tidak mempunyai sistem pembuangan sampah yang memadai. Baru sekitar 60% dari seluruh volume sampah kota yang dapat diangkut, selebihnya dibakar di tempat atau dibuang ke sungai.
Dalam penggelontoran air limbah, jumlah penduduk perkotaan yang mendapatkan pelayanan dari pemerintah kota hanya sekitar 30%, selebihnya menggunakan sistem on-site yang tidak ramah lingkungan. Saluran drainase perkotaan terdapat pada hampir 90% dari seluruh jumlah kelurahan di kota-kota, namun saluran drainase yang baik hanya terdapat di separoh wiayah kota. Selebihnya dibangun tanpa mengindahkan wilayah tangkapan air, sehingga menimbulkan kemampetan atau genangan, yang berpotensi menyebabkan buruknya kesehatan masyarakat dan banjir. Pemerintah kota-kota juga menghadapi keterbatasan jaringan jalan dan tingkat pelayanan angkutan umum kota yang menyebabkan kemacetan dan kesulitan melakukan pergerakan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jabodetabek tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur jalan menuju jalan tol yang memadai, sehingga kemacetan selalu terjadi yang mengakibatkan aktivitas industri yang kebanyakan berorientasi ekspor terganggu (Kompas 3/2/2006).

Masalah Kemiskinan
Selain masalah tingkat pelayanan yang rendah, kota-kota besar menghadapi masalah sosial ekonomi berupa banyaknya penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Jumlah penduduk miskin ini melonjak pada saat krisis ekonomi, namun kemudian mulai menurun. Menurut BPS, pada tahun 2001 tercatat ada 8,5 juta orang penduduk perkotaan di Indonesia yang tergolong miskin, jumlah itu adalah sekitar 9,76% dari jumlah penduduk seluruhnya. Secara absolut penduduk miskin berada terbanyak di kota-kota di pulau Jawa, sedangkan secara relatif terhadap jumlah penduduk total, penduduk miskin perkotaan di Kawasan Timur Indonesia lebih menonjol (rata-rata 16,26% di Maluku, Nusa Tenggara dan Papua, sedangkan di Jawa 9,28%). Pada umumnya masyarakat miskin perkotaan lebih sering mengalami keterisolasian dan perbedaan perlakuan dalam upaya memperoleh dan memanfaatkan ruang berusaha, pelayanan administrasi kependudukan, dll. Sebagian besar masyarakat miskin di perkotaan bekerja sebagai buruh dan sektor informal yang tinggal di pemukiman yang tidak sehat dan rentan terhadap penggusuran.

Masalah Lingkungan
Kualitas lingkungan kota-kota besar di Indonesia umumnya di bawah standar universal. Polusi udara buruk karena BBM yang masih mengandung timbal dan asap kendaraan yang tidak tersaring baik, polusi suara juga semakin terasa karena bunyi mesin kendaraan umum yang melebihi ambang toleransi. Berbeda dengan Singapura yang sejak awal berorientasi pada angkutan umum, sehingga kendaraan pribadi tidak merupakan kebutuhan pokok, kota-kota di Indonesia terjebak pada pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak terkendali karena angkutan kota tidak mampu memenuhi kebutuhan layanan pergerakan penduduk. Air tanah yang menjadi sumber bagi sebagian penduduk kota-kota kualitasnya kurang baik karena tercemar limbah rumah tangga dan industri. Banjir di berbagai kota terjadi karena pengendalian pemanfaatan lahan di wilayah tangkapan air yang tidak efektif.

Masalah Tata Ruang
Upaya penataan ruang kota-kota seringkali tidak diimbangi dengan pengelolaan penggunaan lahan yang efektif sehingga menimbulkan kesemrawutan kota, yang terwujud dalam penggunaan tempat-tempat umum bagi kegiatan PKL, seperti trotoar/pinggir jalan, taman, terminal/stasiun, kolong jembatan, dll. Keterbatasan sarana rekreasi yang murah menyebabkan penduduk kota menggunakan jalan atau gang sempit sebagai tempat bermain sepakbola. Permukiman kumuh tumbuh di berbagai sudut kota, khususnya di sempadan sungai, jalur kereta api dan di lahan-lahan kosong. Meningkatnya jumlah penduduk kota menyebabkan kampung-kampung kota semakin sesak, tidak sehat dan rawan kriminalitas.

Dampak terhadap Urbanisasi
Kota-kota yang berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi adalah jika unit-unit usaha dapat saling berinteraksi, dan itu dimungkinkan dengan adanya infrastruktur. Jalan, pelabuhan, air, listrik, telpon, akses internet, dll. seperti yang diulas di atas adalah input antara dalam memproduksi barang dan jasa yang dilakukan oleh masyarakat kota. Ketidakcukupan prasarana kota ini berdampak langsung pada produksi dan pertumbuhan ekonomi kota. Dalam menghadapi keterbatasan ini, perusahaan besar berpotensi menyediakan sendiri kekurangannya sedangkan perusahaan kecil sulit melakukan hal itu. Karena lapangan kerja secara keseluruhan lebih banyak diciptakan oleh usaha kecil dan menengah, maka dampak keterbatasan prasarana kota pada perekonomian kota cukup besar. Bagi perusahan besar, biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan prasarana sendiri mempengaruhi kemampuannya dalam berkompetisi di pasar internasional.
Kota-kota kecil dengan prasarana dan sarana yang jauh lebih terbatas cenderung tidak mampu menyediakan pelayanan sebaik kota-kota besar, sehingga tidak banyak membantu mengurangi urbanisasi dan menyediakan pelayanan bagi penduduk perdesaan. Ini dapat disebabkan oleh karena kota-kota kecil tidak mempunyai pemerintahan tersendiri yang dipilih, sementara perhatian terhadap kota-kota kecil oleh pemerintah kabupaten/propinsi cenderung tidak memadai.
Sektor pertanian dan agro-industri secara alami tidak dapat menampung tenaga kerja perdesaan yang tumbuh. Sementara itu fasilitas sosial dan ekonomi lebih terbatas di perdesaan daripada di kota-kota besar. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan internasional memberi dampak yang cukup berarti pada produktivitas sektor-sektor tertentu, yang selanjutnya memberi dampak pada perkembangan kota. Produktivitas ekonomi perdesaan yang menurun menyebabkan urbanisasi yang deras ke kota-kota besar, yang pada umumnya ditanggapi secara negatif oleh pemerintah kota karena mendorong pertumbuhan PKL, kepenuhsesakan pusat kota, pencemaran, kemacetan lalu lintas, permukiman kumuh, dll. Urbanisasi yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun ini menuntut kemampuan pemerintah untuk menyikapinya secara bijak dan strategis.

Peran Pemerintah Kota
Selama tahun 1970-90an kota-kota di Indonesia berkembang cukup pesat sejalan dengan perekonomian yang membaik karena prioritas kestabilan sosial dan politik dari pemerintah saat itu. Kota-kota menuntut penyediaan prasarana dan sarana kota, seperti air bersih, drainase, jalan kota, persampahan, dll. Pada pertengahan tahun 1980an sampai akhir 1990an, pemerintah pusat mendapat pinjaman dari Bank Dunia, ADB, Jepang dan lain-lain untuk melaksanakan berbagai proyek perkotaan yang dikenal dengan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT). P3KT berupaya mengintegrasikan sektor-sektor pekerjaan umum dalam satu program, sebagai upaya penyempurnaan pendekatan pembangunan sebelumnya yang cenderung sektoral. Selain itu, P3KT berupaya memberi peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan membangun prasarana perkotaan, sehingga sesuai dengan prioritas daerah. Peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan prasarana perkotaan merupakan tujuan lain di samping penyediaan prasarana perkotaan.
Proyek-proyek P3KT mampu menambah ketersediaan prasarana dan sarana perkotaan di Indonesia. Ditambah dengan upaya-upaya lain seperti pemberian penghargaan Adipura kepada kota-kota yang bersih dan tertata baik oleh Depdagri, wajah kota-kota Indonesia pada dasawarsa 1990an cukup membanggakan. Namun pemerintah daerah pada waktu itu (kabupaten dan kota, didukung propinsi) kebanyakan tidak meneruskan pelaksanaan proyek P3KT dengan prakarsa sendiri. Pemerintah daerah cenderung mempunyai anggapan bahwa pengadaan prasarana dan sarana kota yang berskala besar adalah tanggung jawab Pusat, sehingga ada kesan mereka menunggu dan berharap agar proyek P3KT berikutnya akan tetap ada. Selain P3KT dan Proyek Perbaikan Kampung yang juga didukung pinjaman luar negeri, berbagai kegiatan pembangunan perkotaan lain dilakukan oleh pemerintah pusat dan dalam skala lebih lokal oleh pemerintah daerah.
Evaluasi singkat terhadap pengalaman pembangunan perkotaan pada era 1970-90an tersebut menunjukkan bahwa peran pemda dalam pembangunan perkotaan cenderung kurang menonjol, walau pelaksanaan program sudah dirancang untuk menghindari hal ini. Peran yang relatif pasif tersebut terbukti dengan tidak diteruskannya program/proyek yang sudah selesai oleh pemda sendiri dan tidak terintegrasinya kegiatan-kegiatan pembangunan perkotaan yang didanai oleh berbagai pihak tersebut, sesuatu hal yang dapat dihindari jika peran pemda cukup menonjol.
Faktor yang berada diluar ruang gerak pemerintah kota juga berperan. Keinginan untuk menterpadukan berbagai aktivitas pembangunan perkotaan sering tidak berhasil karena antara lain ketidaksamaan prosedur perencanaan dan implementasi proyek pada masing-masing lembaga pemberi pinjaman (Bank Dunia, ADB, dll), atau karena lingkup tugas instansi pemerintah pusat yang tidak terbatasi secara jelas.

Tantangan Pemerintah Kota
Krisis ekonomi, era reformasi, dan kebijakan nasional desentralisasi telah menyebabkan perubahan-perubahan besar dalam kegiatan pembangunan perkotaan. Pertama, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa wewenang dan tanggung jawab pembangunan perkotaan adalah ada pada daerah otonom, dalam hal ini kabupaten/kota. Kedua, krisis ekonomi dan pencegahan dampak-dampaknya menyebabkan kapasitas keuangan negara menjadi sangat jauh berkurang, sehingga tidak banyak anggaran pemerintah yang dapat digunakan untuk kegiatan pembangunan termasuk untuk pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Ketiga, ada kecenderungan bahwa kebebasan berpolitik belum diimbangi oleh kapasitas penegakan hukum yang ada, sehingga berdampak pada kehidupan kota yang tidak tertib, seperti tercermin dalam cara masyarakat berlalulintas, menjamurnya PKL, meluasnya permukiman tidak resmi, dll.
Di era otonomi luas saat ini, peran pemerintah kota dituntut lebih menonjol daripada peran pihak-pihak di luar kalangan pemerintah daerah sendiri, termasuk pemerintah pusat. Prakarsa untuk memulai suatu proyek pembangunan perkotaan skala besar harus berasal dari pemerintah kota, bukan dari donor, pemerintah pusat atau pengembang. Konsultan perencana, nasional dan daerah, harus dikerahkan untuk menyusun rencana kota dan untuk mengelola program/proyek atas dasar rencana tersebut, bekerjasama dengan pihak-pihak lain, dalam dan luar negeri. Pemda perlu memanage perkembangan kota, sebagaimana layaknya manager mengelola suatu perusahaan, namun bagi pemda, shareholdernya adalah warga kota, baik yang dapat bersuara maupun yang tidak.
Namun pemerintah kota umumnya tidak mempunyai SDM yang memadai, dalam jumlah maupun pengalaman. Untuk itu pemerintah pusat perlu memberikan dukungan. Dukungan yang diperlukan adalah SDM yang profesional. Mengikuti proses desentralisasi, pemerintah daerah kini lebih leluasa untuk menentukan struktur maupun personalia lembaga-lembaga daerah. Hal ini di satu pihak memungkinkan pemerintah daerah untuk menempatkan orang-orang terbaik pada instansi-instansi pemerintah daerah, namun juga dapat terkondisikan untuk harus menempatkan orang-orang yang tidak sesuai dengan kapasitas yang dituntut. Pembangunan perkotaan adalah salah satu tugas pemerintah daerah yang menuntut kapasitas yang tinggi dan beragam, sesuai dengan kompleksitas permasalahan kota yang dihadapi. Dalam pembangunan kota, aparat pemerintah kota dituntut untuk mengetahui tidak hanya masalah-masalah teknis pembangunan kota, namun juga berbagai aspek lain seperti kemampuan perencanaan dan pembangunan secara partisipatif, kemampuan manajerial yang sesuai dengan kultur kota, pengelolaan kota yang transparan, berorientasi kinerja dan accountable terhadap masyarakat, dll.

Dukungan Pusat
Dalam era otonomi daerah yang luas sekarang ini, peran pemerintah pusat dalam pembangunan perkotaan secara langsung dengan sendirinya semakin berkurang. Kalau pada awal era pembangunan, pemerintah pusat cenderung merencanakan dan melaksanakan berbagai unsur pembangunan kota, maka kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pusat kini lebih pada memfasilitasi pemerintah daerah agar dapat menyelesaikan masalah-masalah seperti yang diuraikan di atas. Walaupun terbatas pada memfasilitasi, namun perhatian pemerintah pusat terhadap masalah-masalah pembangunan perkotaan harus tidak berkurang. Pemerintah pusat perlu memberikan dukungan kepada pemerintah daerah, khususnya yang kapasitasnya lebih terbatas, dalam berbagai bentuk yang mungkin. Bentuk dukungan itu harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah.
Dua hal yang kiranya dibutuhkan pemerintah daerah dalam pembangunan perkotaan adalah pendanaan dan SDM.
Dana pembangunan di daerah (APBD) yang dapat digunakan untuk membangun prasarana dan sarana kota, yang dulu dibantu pusat melalui proyek-proyek APBN, pinjaman luar negeri dan INPRES, kini berkurang banyak, karena sebagian besar dana alokasi umum (DAU) harus digunakan untuk biaya operasional pemerintah daerah, sedangkan PAD dan dana alokasi khusus, serta dana bagi hasil bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA juga terbatas. Kegiatan dekonsentrasi pemerintah pusat dapat mengurangi beban pemerintah daerah dalam membangun atau merehabilitasi prasarana dan sarana kota, namun nilai dan kontinuitasnya tidak dapat diandalkan, karena anggaran pembangunan pusat pun sangat berkurang. Akses pemerintah daerah secara langsung terhadap dana pinjaman berbunga lunak dari lembaga keuangan internasional terbatas oleh ketentuan larangan melakukan pinjaman langsung. Peran Pemerintah Pusat dalam hal ini menyediakan skema pembiayaan, sering dikenal dengan istilah municipal development fund, dengan mana pemerintah kota dapat membuat pinjaman dana untuk membangun prasarana kota dengan waktu pengembalian yang panjang.
Dukungan kedua yang diperlukan adalah SDM yang profesional. Mengikuti proses desentralisasi, pemerintah daerah kini lebih leluasa untuk menentukan struktur maupun personalia lembaga-lembaga daerah. Hal ini di satu pihak memungkinkan pemerintah daerah untuk menempatkan orang-orang terbaik pada instansi-instansi pemerintah daerah, namun juga dapat terkondisikan untuk harus menempatkan orang-orang yang tidak sesuai dengan kapasitas yang dituntut. Pembangunan perkotaan adalah salah satu tugas pemerintah daerah yang menuntut kapasitas yang tinggi dan beragam, sesuai dengan kompleksitas permasalahan kota yang dihadapi. Dalam pembangunan kota, aparat pemerintah daerah dituntut untuk mengetahui tidak hanya masalah-masalah teknis pembangunan kota, namun juga berbagai aspek lain seperti kemampuan perencanaan dan pembangunan secara partisipatif, kemampuan manajerial yang sesuai dengan kultur kota, pengelolaan kota yang transparan, berorientasi kinerja dan accountable terhadap masyarakat, dll.
Mencari tenaga-tenaga profesional untuk mengelola kota adalah di luar kemampuan rata-rata pemerintah kota, khususnya yang non-otonom. Dalam hal ini, pemerintah Pusat kiranya dapat mengerahkan tenaga-tenaga ahli yang bertumpuk di Jakarta untuk menjadi perencana dan pengelola pembangunan perkotaan di daerah-daerah. Dengan insentif yang menarik, tenaga-tenaga muda yang enerjetik maupun karyawan yang sudah berpengalaman diharapkan dapat terjun ke daerah-daerah, menyemarakkan perubahan politik yang terjadi saat ini dengan memberi muatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang berkualitas.
Bantuan yang dapat diberikan oleh pemerintah pusat adalah melakukan pelatihan bagi aparat pemerintah kota atau memperbantukan tenaga ahli pusat ke daerah dalam waktu tertentu untuk melaksanakan tugas-tugas yang tidak bisa ditangani sendiri oleh pemerintah kota ybs. Tenaga ahli dari luar dapat dikerahkan oleh pemerintah pusat melalui lembaga-lembaga internasional.

Penutup
Indonesia seperti halnya negara-negara lain di dunia, akan terus mengalami urbanisasi. Urbanisasi memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan industri, jasa dan komersial yang berlokasi di kota-kota yang menyebabkan aliran pendapatan yang cepat diantara pelaku-pelaku ekonomi. Kota-kota, besar maupun kecil, selain memberikan pendapatan juga menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mengurangi tingkat kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Dengan demikian perkembangan kota-kota perlu dijaga keberlanjutannya agar tetap produktif.
Agar produktif, kota-kota perlu memiliki prasarana dan sarana kota yang efisien dan memenuhi kebutuhan penduduk untuk melakukan kegiatannya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dll. Dengan gap yang besar antara kebutuhan dan kemampuan pendanaan pembangunan infrastruktur di berbagai kota saat ini, upaya-upaya terobosan perlu dilakukan, antara lain dengan menyediakan sumber-sumber pendanaan murah dan menyusun sistem pengoperasian dan pemeliharaan yang efisien dan efektif. Kota-kota dengan demikian memerlukan strategi pembangunan kota masing-masing.
Migrasi penduduk dari perdesaan dan kota-kota kecil perlu dikelola secara baik, dengan memberi ruang gerak bagi pendatang baru dan menegakkan peraturan tata ruang secara tegas untuk menghindari penggunaan ruang secara tidak legal. Upaya kemitraan perlu dilakukan dengan penduduk pendatang yang tidak mampu merespon dengan baik terhadap tuntutan-tuntutan kehidupan kota. Kemitraan ini diupayakan untuk menciptakan peluang-peluang baru untuk memobilisasi sumber-sumber yang ada, dengan antara lain mengaitkan sektor informal dengan sektor formal dalam pengadaan prasarana, pemberian layanan kota, dll. Upaya ini juga harus dilakukan secara bersama di berbagai kota, untuk memberikan solusi yang menyeluruh secara nasional.
Berkaitan dengan penguatan kemitraan dengan penduduk yang kurang mampu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pembangunan kota secara simultan. Partisipasi organisasi berbasis masyarakat berpotensi memberikan hasil yang lebih maksimal sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman serta kepercayaan yang dimiliki. Desentralisasi dan demokratisasi pemilihan walikota akan mempercepat perwujudan pemerintahan kota yang responsif terhadap tuntutan masyarakat. Pembangunan perkotaan yang berhasil menuntut penerapan good urban governance yang efektif.
Di masa depan kota-kota di Indonesia perlu mengarah pada terwujudnya kota-kota yang berdaya saing tinggi, untuk dapat menarik pengusaha, modal dan orang-orang berbakat dari dalam negeri (perdesaan) dan luar negeri, sehingga semakin mendorong produktivitas dan dinamika kota. Dalam hal ini penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan kota akan merupakan keharusan. E-government, komunikasi publik melalui email dan internet, perlu digunakan untuk memberi informasi kepada penduduk kota mengenai hak dan layanan terbaru yang tersedia bagi mereka, dan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan tingkat lokal. Teknologi dan prosedur mutakhir - remote sensing, satellite mapping, zoning plan, dll, - perlu dimanfaatkan untuk memahami dinamika pertumbuhan kota-kota sepanjang waktu. Pemerintah kota juga perlu mengadopsi strategi penyediaan prasarana, pengembangan SDM, pengadaan layanan umum, pemrosesan IMB, perpajakan, dll. secara lebih profesional sehingga lebih cepat, murah dan efektif.

--o0o--


Herry Darwanto, ahli perencana madya Bappenas.

No comments:

Post a Comment