Monday 24 September 2007

Penataan Ruang Untuk Mitigasi Bencana Alam

1. PENDAHULUAN
Bencana alam adalah suatu akibat dari kejadian alami (seperti letusan gunung api, gempa bumi, atau tanah longsor) yang menjadi suatu peristiwa fisik dan berhubungan dengan aktivitas manusia. Sifat kerentanan manusia, yang dapat disebabkan oleh tiadanya penataan ruang yang baik atau tiadanya manajemen risiko yang handal, dapat mengakibatkan kerugian pada materi, struktur, dan nyawa manusia. Kerugian yang diakibatkan suatu kejadian alam tergantung pada kapasitas manusia dalam menahan bencana alam. Jadi bencana alam terjadi ketika kejadian alam berhadapan dengan kerentanan manusia. Suatu kejadian alam karenanya tidak pernah mengakibatkan suatu bencana di suatu wilayah yang tidak ada unsur kerentanan manusia didalamnya, misalnya gempa bumi kuat yang terjadi di wilayah tak berpenghuni. Tingkat kerugian juga tergantung pada sifat alami dari kejadian alam itu sendiri, mulai dari sekilat petir yang menghanguskan pucuk pohon kelapa sampai gelombang tsunami yang meluluhlantakkan sebagian kota Banda Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 yang lalu.

Dalam suatu ruang, beberapa kejadian alam seperti banjir dan longsor dapat dicegah atau diminimasi, sedangkan beberapa kejadian alam lain seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi tidak dapat dihindari, sehingga yang dapat dilakukan adalah meminimasi kemungkinan risikonya. Risiko terjadinya kejadian alam semakin besar apabila kejadian alam tersebut menimpa suatu wilayah dengan kerentanan yang tinggi. Suatu tata ruang wilayah yang direncanakan agar tahan terhadap kejadian alam akan meminimalkan bencana ketika kejadian alam itu terjadi.
Indonesia adalah geografi yang rentan terhadap berbagai kejadian alam. Berdasarkan catatan Walhi, sejak 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah kejadian alam skala besar di Indonesia mencapai 647 peristiwa, meliputi banjir, longsor, gempa bumi, angin topan, tsunami, dll. dengan ribuan korban jiwa dan jumlah kerugian material ratusan miliar rupiah. Sejak itu sampai sekarang banyak lagi kejadian alam yang membuat ratusan ribu orang kehilangan nyawa, termasuk tsunami di Aceh dan Nias, kemudian di pantai selatan Jawa, longsor di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, gempa bumi di Sumatera Barat, dll. Catatan Walhi juga menyebutkan bahwa sejak 1998 hingga pertengahan 2003 sebesar 85% dari total kejadian alam adalah banjir dan longsor. Dengan demikian sebagian besar kejadian alam di Indonesia merupakan kejadian alam yang bisa diatasi, yang dapat diantisipasi kejadian dan risikonya. Sebagian kecil memang belum bisa diduga kapan akan terjadinya, walaupun dalam hitungan geologi, kejadian itu dipastikan akan terjadi, seperti tsunami yang diakibatkan oleh pergeseran lempeng-lempeng batuan bumi di bagian barat dan selatan Indonesia.
Makalah ini membahas aspek penataan ruang dalam pengendalian dampak kejadian alam, yang meliputi gempa bumi, tsunami, banjir, longsor. Jenis kejadian alam lain yang berpotensi terjadi tidak dibahas karena sangat spesifik sepeti letusan gunung berapi atau jarang terjadi seperti badai atau kejatuhan meteor.

2. SEBARAN WILAYAH RENTAN KEJADIAN ALAM
Bagian ini membahas sebaran wilayah rentan kejadian alam, yaitu wilayah di mana kejadian alam seperti gempa bumi, longsor, atau tsunami telah dan diduga akan sering terjadi. Identifikasi wilayah dengan kemungkinan kejadian alam tinggi berguna untuk menentukan pola struktur dan pemanfaatan ruang suatu daerah.
Tingkat kerentanan suatu wilayah sebagai akibat dari suatu kejadian alam diperkirakan dari gabungan tingkat kerawanan dari suatu kejadian alam dengan parameter tentang dampak kejadian alam itu terhadap lingkungan alami dan buatan yaitu khususnya kepadatan penduduk, penggunaan lahan, dan keberadaan obyek vital. Semakin besar kepadatan penduduk maka kerentanan suatu wilayah terhadap kejadian alam akan semakin besar. Jenis penggunaan lahan yang mempunyai tingkat risiko tinggi adalah kawasan permukiman atau kawasan terbangun. Semakin banyak obyek-obyek vital seperti pasar, terminal, bandar udara, pelabuhan laut, pembangkit listrik, bendungan, instalasi air bersih, dll. maka kerugian yang ditimbulkan akibat kejadian alam akan semakin besar. Kerusakan obyek-obyek vital ini akan berdampak pada menurunnya tingkat pelayanan kebutuhan masyarakat.

2.1. Wilayah Rentan Gempa Bumi
Gempa bumi adalah gaya inersia yang timbul oleh goncangan gempa yang dapat berakibat merobohkan bangunan yang tidak didesain tahan gempa. Penyebab ikutan gempa bumi dapat berupa gelombang laut tsunami yang menerjang pantai, perubahan struktur perlapisan tanah, dan longsoran di wilayah perbukitan. Wilayah rentan gempa bumi ditentukan dari tingkat kerawanan dan parameter dampak akibat terjadinya gempa bumi. Analisis kerawanan gempa bumi menggunakan tiga indikator, yaitu: (1) seismisitas, meliputi kedalaman dan magnitude episentrum, (2) struktur geologi, meliputi sesar aktif dan tingkat kerapuhan batuan dimana episentrum tersebut berada, dan (3) percepatan tanah puncak.

2.2. Wilayah Rentan Tsunami
Tsunami adalah gelombang yang ditimbulkan oleh pergerakan lempeng bumi yang terjadi secara tiba-tiba. Gerakan ini menimbulkan gelombang panjang yang umumnya mempunyai periode 20 sampai 200 menit dan dapat menyebabkan kehancuran di daerah pesisir karena tiriggi gelombangnya dapat mencapai beberapa meter di atas batas normal muka air tertinggi (Carter, 1999 dalam Iwan Tejakusuma, 2005).
Kekuatan tsunami yang terjadi di Indonesia, berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan ketinggian gelombang maksimum di pantai berkisar 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang ke daratan berkisar antara 50 - 200 meter dari garis pantai. Gempa bumi yang berpotensi menimbulkan tsunami pada umumnya adalah gempa bumi yang episentrumnya terletak di laut dengan kedalaman kurang dari 60 Km dengan magnitude 6,0 skala Richter serta jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau turun (BMG dalam Bambang Marwanta, 2005).
Kerawanan tsunami dipengaruhi oleh (1) kekuatan tsunami dan (2) morfologi pantai. Kekuatan tsunami sebaliknya dipengaruhi oleh rnangnitude gempa bumi. Berdasarkan besarnya kekuatan tsunami dapat diprediksi besarnya rambatan naik (run-up) gelombang tsunami di suatu wilayah pantai. Perkiraan rambatan naik tersebut dapat dihitung dengan menggunakan tabel hubungan umum (masa lalu) antara magnitude tsunami, energi tsunami dan tinggi maksimum rambatan naik (run-up). Faktor kedua, morfologi pantai, berpengaruh mengurangi potensi kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang rambatan naik (run-up). Faktor-faktor morfologi pantai yang berpengaruh terhadap potensi kerusakan adalah tipologi pantai, kemiringan dan ketinggian.

2.3. Wilayah Rentan Longsor
Longsoran (landslide) adalah pergerakan suatu masa batuan, tanah atau rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng (Cruden, 1991 dalarn Karnawati, 2004). Karnawati (2003) membagi penyebab terjadinya longsor ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) faktor-faktor pengontrol, dan (2) faktor-faktor pemicu. Faktor-faktor pengontrol antara lain adalah geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi dan tata guna lahan. Sementara faktor-faktor pemicu meliputi infiltrasi air ke dalam lereng, getaran, dan aktivitas manusia yang mengakibatkan perubahan penggunaan lahan.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2000) telah menyusun Pedoman Pemetaan Kerentanan Gerakan Tanah (Longsor). Pedoman tersebut disusun untuk memberi acuan dalam melakukan pemetaan wilayah kerentanan longsor agar dapat diperoleh keseragaman arti dan kualitas peta wilayah kerentanan longsor. Berdasarkan pedoman tersebut terdapat 8 kriteria yang digunakan untuk memetakan kerentanan gerakan tanah: morfologi, kondisi keairan, tanah/batuan, geologi, tata lahan, struktur geologi, aktifitas manusia dan keterdapatan gerakan tanah. Alternatif lain dalam penentuan kerawanan longsor adalah menggunakan empat parameter yang datanya relatif mudah diperoleh, yaitu litologi, kemiringan lereng, dan curah hujan.

2.4. Wilayah Rentan Banjir
Banjir adalah aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia. Wilayah rawan banjir adalah wilayah yang potensial dilanda banjir yang diindikasikan dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap banjir, yaitu: topografi, tingkat permeabilitas tanah, kondisi wilayah aliran sungui, wilayah meander, curah hujan, dan air laut (airlaut pada saat pasang dapat mengakibatkan pembendungan di muara sungai sehingga menyebabkan aliran sungai meluap).

3. PENATAAN RUANG DAN REKAYASA TEKNOLOGI UNTUK MITIGASI BENCANA ALAM
Mitigasi meliputi segala tindakan untuk mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Mitigasi merupakan dasar manajemen situasi yang dapat didefinisikan sebagai “aksi yang mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang bahaya kejadian alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta benda” (FEMA, 2000).
Manajemen risiko kejadian alam dapat dilakukan dengan penataan ruang, melakukan rekayasa teknologi, penguatan masyarakat dan penataan kelembagaan. Makalah ini hanya membahas manajemen risiko kejadian alam ditinjau dari aspek penataan ruang dan rekayasa teknologi.

3.1. Mitigasi Bencana Alam Melalui Penataan Ruang
Manajemen risiko gempa bumi melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1) Mengidentifikasi lokasi-lokasi yang aman dari gempa, antara lain dengan menganalisa tipe-tipe tanah dan struktur geologinya; (2) Mengalokasikan penempatan bangunan (perumahan dan fasilitas umum yang vital seperti rumah sakit, sekolah, kantor polisi, pemadam kebakaran, dan sebagainya) pada wilayah yang aman dari gempa bumi.
Manajemen risiko tsunami melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Pencegahan pembangunan fasilitas umum (rumah sakit, sekolah, kantor frolisi, pemadam kebakaran) pada zona rawan bencana tsunami; (2). Mengidentifikasi daerah-daerah aman dan rute evakuasi dengan mengoverlaykan peta-peta bahaya tsunami dan jaringan jalan; (3). Penyediaan fasilitas penye1amaan, secara vertikal maupun horizontal, sesuai kondisi geografis. Untuk itu dapat digunakan bangunan atau bukit penyelamatan disertai rute-rute penyelamatan; (4). Menyediakan zona penyangga (buffer zone) untuk mengurangi energi tsunami sehingga daya rusaknya menurun; (5). Wilayah yang kemungkinan/potensi tergenang air diperuntukan bagi taman atau area olah raga.
Manajemen risiko longsor melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Mengidentifikasi daerah rawan longsor (area yang rawan getaran bumi m gempa bumi, area pegunungan terutama yang memiliki kemiringan lereng yang curam, area dengan degradasi lahan yang parah, area yang tertutup butir-butir pasir yang lembut, area dengan curah hujan tinggi); (2). Mengarahkan pembangunan pada tanah yang stabil; (3) Pengaturan vegetasi untuk wilayah rentan longsor; (4) Memanfaatkan wilayah rentan longsor tinggi sebagai ruang terbuka hijau.
Manajemen risiko banjir melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Melakukan pemetaan wilayah rawan banjir, mengarahkan pembangunan menghindari daerah rawan banjir (kecuali untuk taman dan fasilitas olah raga), dan dilanjutkan dengan kontrol penggunaan lahan; (2). Melakukan diversifikasi produk pertanian seperti penanaman tanaman pangan yang tahan terhadap banjir atau menyesuaikan musim tanam; (3). Penghutanan kembali, pengaturan tanah endapan karena banjir; (4). Pengadaan jalur evakuasi apabila terjadi banjir.

3.2. Mitigasi Bencana Alam Melalui Rekayasa Teknologi
Manajemen risiko gempa bumi melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1) mengembangkan teknik-teknik konstruksi tahan gempa, baik bangunan untuk fasilitas umum maupun rumah penduduk, antara lain menggunakan bangunan dan kayu dan bahan ringan untuk rumah karena lebih aman dibandingkan bangunan berat; (2) memverifikasi kapabilitas bendungan dan pekerjaan rekayasa untuk menahan kekuatan gempa; (3). meninjau kembali kesempurnaan fasilitas-fasilitas bangunan yang penting (rumah sakit, sekolah, pemadam kebakaran, instalasi komunikasi) dan ujenyempurnakan fasilitas tersebut jika diperlukan; (4). merencanakan alternatif cadangan air; (5). menyiapkan sistem-sistem komunikasi emergensi dan pesan-pesan kepada khalayak umum yang menyangkut keamanan.
Manajemen risiko tsunami melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1). melengkapi dengan sistem peringatan dini (early warning system/EWS); (2). memperkuat bangunan agar tahan terhadap tekanan gebombang dan arus kuat, a.l. dengan merekonstruksi fondasi struktur agar dapat menahan erosi dan penggerusan oleh arus, membuat lantai dasar menjadi terbuka sehingga mampu membiarkan air laut melintas, menempatkan generator cadangan di lantai yang tidak kena banjir, menyimpan benda-benda berat berbahaya di dalam tanah; (3). memodifikasi sistem transportasi untuk dapat memfasilitasi evakuasi massal secara cepat; (4). menggunakan struktur penahan gelombang laut, antara lain seperti sea wall, sea dikes, breakwaters, river gates untuk menahan atau mengurangi tekanan tsunami.
Manajemen risiko longsor melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1). melakukan perbaikan drainase tanah, seperti perbaikan sistem drainase, hydroseeding, dan soil nailing; (2). membangun berbagai pekerjaan struktural, seperti rock netting, shotcrete, block pitching, stone pitching, retaining wall, gabion wall, installation of geotextile, dsb. sesuai keadaan wilayah rawan longsor.
Sedangkan melalui rekayasa teknologi, manajemen risiko banjir dapat dilakukan dengan: (1). melengkapi dengan sistem peringatan dan deteksi/peramalan banjir; (2). menggunakan media untuk menyebarkan peringatan, melalui radio, televisi, dan sirine;
(3). memperbanyak vegetasi pelindung dan mengurangi padang penggembalaan yang terlalu luas; (4). melakukan relokasi elemen-elemen yang menyumbat jalan banjir, termasuk pembersihan sedimen dan puing-puing dan sungai; (5). membelokkan aliran banjir, dengan tanggul dan bendungan; (6). menggunakan rancangan bangunan tahan banjir, misalnya menaikkan lantai/ruangan di atas kemungkinan batas banjir, memundurkan bangunan dari arus banjir, menstabilkan dasar sungai dengan bangunan konstruksi dari batu atau vegetasi, terutama yang berada dekat jembatan; (7). mengenakan peraturan tentang material bangunan, yang menghindari bangunan bangunan dari kayu dan yang berkerangka ringan pada wilayah rentan banjir; (8). meninggikan sebagian wilayah atau bangunan yang digunakan untuk penyelamatan sementara jika evakuasi tidak dimungkinkan.

4. PENUTUP
Indonesia adalah negara yang rawan terhadap berbagai kejadian alam. Kejadian alam tidak selalu menimbulkan bencana. Kejadian alam dapat dicegah dengan melakukan penataan ruang yang baik, disertai upaya rekayasa teknologi, penguatan masyarakat dalam menghadapi kejadian alam tersebut dan penataan kelembagaan untuk mencegah korban jatuh lebih banyak dan untuk memulihkan kondisi seperti sebelumnya. Penataan ruang untuk mitigasi bencana dilakukan dengan menyesuaikan struktur dan pola pemanfaatan ruang dengan tingkat kerentanan wilayah terhadap berbagai bentuk kejadian alam yang berpotensi untuk terjadi.

--o0o--

No comments:

Post a Comment